MATERI MAKNA DAN NILAI DARI KEBERAGAMAN
TUJUAN PEMBELAJARAN
Melalui pembahasan ini, peserta didik diharapkan dapat mengenali
dan membangun kesadaran bahwa ada keragaman
identitas yang kita miliki sebagai
sebuah bangsa. Pembelajaran Unit 2 ini juga ditujukan
agar peserta didik dapat menunjukkan penghargaannya terhadap keragaman
budaya, baik yang ada di Indonesia maupun
dunia.
MATERI
“Pancasila adalah jati diri bangsa
Indonesia”. Kita tentu sering mendengar
atau membaca kalimat tersebut. Di sana, kita menemukan dua kata yang menjadi frasa, yakni jati dan diri. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), jati
diri diartikan sebagai keadaan atau ciri khusus seseorang. Padanan kata jati diri adalah identitas. Jadi, identitas
dan jati diri akan digunakan secara bergantian untuk merujuk pada pengertian yang sama. Jati diri atau identitas tidak hanya melekat
pada individu, tetapi
juga kelompok: kelompok
kecil seperti keluarga atau kelompok
besar seperti halnya bangsa dan negara. Setiap diri kita diberikan keunikan
masing-masing. Kekhususan yang ada pada diri kita, membentuk apa yang disebut
identitas tadi. Keunikan
yang juga ada pada sebuah kelompok, membedakannya dengan kelompok yang lain. Setidaknya, ada dua pendapat
besar tentang bagaimana
identitas itu terbentuk. Pertama, ada yang beranggapan
bahwa identitas itu gifed atau terberi. Identitas, dalam pandangan kelompok ini, merupakan sesuatu yang menempel secara alamiah pada seseorang atau sebuah grup.
Seseorang yang dilahirkan memiliki ciri fisik tertentu,
seperti berkulit putih, bermata biru, berambut
keriting adalah contoh tentang bagaimana kita memahami identitas dalam diri sebagai sesuatu yang alamiah. Kedua,
identitas yang dipahami sebagai hasil dari sebuah desain atau rekayasa. Konstruksi identitas seperti ini bisa
dilakukan dalam persinggungannya dengan
aspek budaya, sosial, ekonomi, dan lainnya. Berbeda halnya dengan identitas yang secara alamiah
melekat pada diri manusia, identitas atau jati diri dalam pengertian ini, terlahir sebagai
hasil interaksi sosial antar
individu atau antar kelompok. Jati diri sebuah
bangsa adalah contoh bagaimana identitas
itu dirumuskan, bukan diberikan secara
natural.
Identitas individu adakalanya bersifat
alamiah, tapi juga bisa melekat
karena hasil interaksi
dengan individu dan kelompok lain. Begitu
juga identitas kelompok. Ada identitas yang berasal dari sebuah interaksi dengan kelompok di luar
dirinya, serta jati diri yang secara alamiah
menjadi ciri dari kelompok tersebut. Untuk lebih jelasnya, mari kita simak uraian mengenai
empat tipe jati diri tersebut.
Identitas Bayi yang Baru Saja Lahir, pertama, yang kita kenali tentu
saja ciri-ciri fisiknya. Warna kulit, jenis rambut, golongan darah, mata, hidung, dan sebagainya adalah
sebagian dari ciri yang melekat pada
bayi tersebut. Ciri fisik seperti ini bisa kita sebut sebagai karakter atau identitas yang bersifat genetis. Ia
melekat pada diri manusia dan dibawa
serta sejak lahir. Ciri fisik manusia, sudah pasti berbeda satu dengan yang lainnya. Sekalipun lahir dari rahim yang sama, akan tumbuh dengan ciri fisik yang berbeda,
termasuk mereka yang terlahir kembar.
Ada identitas fisik, yang secara alamiah, membedakan dirinya dengan saudara kembarnya itu. Di luar
karakter fisik, identitas individu juga bisa berasal dari aspek yang bersifat psikis,
misalnya sabar, ramah,
periang, dan seterusnya. Kita mengenali seseorang karena sifatnya yang penyabar atau peramah. Sebetulnya, sifat ini juga bisa menjadi
ciri dari kelompok tertentu.
Identitas Individu yang Terbentuk Secara Sosial, selain karakter yang terbentuk
secara alamiah, kita bisa mengenali
jati diri seseorang
atau individu karena hasil pergumulannya dengan mereka yang ada di luar dirinya.
Dari interaksi itu, lahirlah
identitas individu yang terbentuk sebagai buah dari hubungan-hubungan keseharian dengan identitas di luar dirinya.
Identitas diri itu terbentuk bisa karena pekerjaan, peran dalam masyarakat, jabatan di pemerintahan, dan sebagainya. Dalam hal pekerjaan, misalnya, guru dan peserta didik
adalah contohnya. Seseorang
menjadi guru karena ia menjalankan tugasnya untuk mengajar dan menyebarkan ilmu pengetahuan
kepada murid-muridnya. Ia sendiri
tidak terlahir otomatis
sebagai guru, tetapi
identitasnya itu didapatkan karena ada pekerjaan
yang dijalankannya. Peserta
didik adalah murid-murid yang diajar, menerima
pengetahuan serta belajar
bersama dengan guru. Identitas sebagai
peserta didik tidak melekat sejak lahir, bukan sesuatu yang alamiah atau genetik. Peserta
didik adalah jati diri yang tercipta karena seseorang datang ke sekolah dan mendaftarkan diri untuk menjadi
murid di sekolah
tertentu.
Identitas Kelompok yang Alami
Selain Melekat Pada Individu, ada juga identitas yang
secara alamiah menjadi ciri dari kelompok. Jadi, dalam suatu kelompok, ada individu-individu yang menjadi
anggotanya dan memiliki
ciri yang sama. Istilah ras atau tribe dalam bahasa Inggris,
itulah salah satu contoh bagaimana yang alamiah melekat kepada sebuah kelompok.
Ras digunakan untuk mengelompokkan manusia
atas dasar lokasi geografis, warna kulit serta bawaan fisiologisnya, seperti warna kulit, rambut
dan tulang. Ada banyak yang berpendapat tentang
penggolongan ras ini. Salah satunya
adalah penggolongan ras dalam
lima kelompok besar: "ras Kaukasoid", "ras Mongoloid", "ras Ethiopia"
(yang kemudian dinamakan "ras Negroid"), "ras Indian" dan "ras Melayu." (Blumenbach dalam Schaefer, 2008).
Identitas Kelompok yang Terbentuk secara Sosial Selain Terbentuk Secara Alamiah, jati diri sebuah kelompok
juga bisa terbangun karena bentukan atau dibentuk.
Seperti halnya identitas individu
yang terbentuk karena interaksi mereka secara sosial, begitu pula halnya identitas kelompok. Mereka
yang suka sepak bola, pasti mengenal
banyak nama klub atau kesebelasan, baik di dalam maupun luar negeri. Contoh lain adalah organisasi peserta didik di
sekolah. Identitas sebagai
organisasi peserta didik merupakan jati diri yang terbentuk atau dibentuk. Lebih tepatnya, difasilitasi oleh
pihak sekolah. Bangsa dan negara adalah
sebuah kelompok sosial.
Setiap bangsa memiliki identitasnya
masing-masing. Begitu pun juga
negara. Dasar, simbol, bahasa, lagu kebangsaan, serta warna bendera
menjadi salah satu penanda sebuah negara. Sebagai
kelompok, negara juga terbentuk secara sosial. Negara Indonesia dibentuk atas dasar perjuangan rakyatnya,
baik yang dilakukan melalui berbagai medan pertempuran maupun upaya diplomasi
di meja perundingan.
Mengenali dan Menyadari
Keragaman Identitas Sebagai
Makhluk Sosial
Ciri
yang melekat pada manusia adalah keinginan untuk melakukan
interaksi satu dengan lainnya. Interaksi berarti hubungan timbal balik yang dilakukan baik antar individu,
antar kelompok maupun individu dengan kelompok. Dalam interaksi, ada proses memengaruhi tindakan kelompok atau
individu melalui sikap, aktivitas atau
simbol tertentu. Orang akan mengenali yang lain melalui proses interaksi tersebut. Proses untuk mengenali
yang lain, dilakukan juga oleh
manusia dalam kapasitasnya sebagai makhluk sosial bisa dijumpai melalui cara lain, yakni sosialisasi.
Sosialisasi berarti penanaman atau penyebaran
(diseminasi) adat, nilai, cara pandang atau pemahaman yang dilakukan oleh satu generasi kepada generasi berikutnya
dalam sebuah masyarakat. Melalui sosialisasi, seseorang atau sebuah
kelompok menunjukkan nilai-nilai yang dianutnya. Tujuannya, bisa sebatas hanya
mengenalkan atau bermaksud
memengaruhi yang lain. Dalam
sebuah kelompok yang terdiri dari banyak individu,
potensi munculnya perbedaan
persepsi sangatlah besar. Masing- masing orang memiliki
nilai serta pandangan
yang menjadi identitasnya. Terhadap pandangan yang
tidak sama itu, kemampuan untuk bernegosiasi sangatlah penting. Satu anggota kelompok
dengan anggota lainnya,
mencari titik temu agar ada satu identitas yang disepakati sebagai jati diri kelompok.
Begitu juga yang dilakukan oleh mereka yang ingin membentuk
grup atau kelompok yang lebih besar. Kelompok-kelompok kecil itu berunding untuk menciptakan satu identitas yang bisa mewakili
semuanya. Identitas atau jati diri yang
menjadi ciri dari kelompok besar itu, bisa saja berasal
dari nilai sebuah
kelompok kecil yang kemudian disepakati oleh semua kelompok.
Atau, ia bisa didapati dengan
cara lain. Identitas itu betul-betul sesuatu yang
baru, yang tidak ada pada anggota kelompoknya. Terciptanya identitas kelompok,
dengan demikian, mendapatkan pengaruh dari mereka yang menjadi
anggotanya. Identitas sebuah grup merupakan hasil dari rumusan dan kesepakatan yang diharapkan bisa menjadi
media bagi kelompok lain ketika
hendak mengenalinya. Di sini kita bisa menarik dua hal penting, yakni jati diri dan keragaman atau
kebinekaan. Mengapa kebinekaan menjadi
tema penting dalam kaitannya dengan masalah identitas atau jati diri? Kita perhatikan bagaimana
sebuah kelompok terbangun. Jika, katakanlah,
ada 10 individu dalam satu kelompok, itu berarti ada 10 cara pandang atau pendapat tentang apa dan bagaimana menciptakan jati diri kelompok tersebut. Begitu pula
ketika 100 kelompok hendak menciptakan
jati diri untuk satu kelompok besar. Kita akan mendapati 100 jati diri yang sedang berbincang tentang bagaimana
menciptakan identitas bersama mereka.
Sepuluh, seratus, seribu, dan seterusnya adalah representasi dari kebinekaan atau kemajemukan.
Di dunia ini, ada beragam
identitas, baik identitas
individu maupun kelompok.
Identitas yang tercipta
secara alamiah atau dibentuk
secara sosial. Keragaman merupakan hukum alam yang harus disadari dan diterima
oleh siapapun. Bangsa
Indonesia sedari awal telah menyadari
akan hal ini. Kita hidup dalam keragaman, namun ingin tetap
berada dalam payung yang bisa mengayomi kebinekaan itu. Inilah hakikat dari semboyan “Bhinneka
Tunggal Ika” tersebut.
Sebagaimana para pendiri bangsa yang menyadari bahwa Indonesia adalah negara dengan keragaman budaya,
agama, etnis, suku dan bahasa,
begitupun juga yang harus dilakukan oleh generasi penerus. Kesadaran tentang kebinekaan, harus
dilanjutkan oleh kehendak untuk mengenali yang lain.
Berkenalan dengan identitas lain di
luar dirinya merupakan cara terbaik
ketika kita hidup dengan mereka yang berbeda. Coba diingat, ketika awal berpindah
sekolah dari SMP ke SMA. Sebagian besar teman-teman
adalah orang-orang baru. Guru-guru yang mengajar pun demikian. Lingkungan sekolah
juga berbeda dengan situasi sebelumnya. Jika kita tak bersosialisasi
dengan cara mengenal satu dengan yang
lain, kita seperti hidup seorang diri, meski faktanya ada banyak orang di sekeliling. Karenanya, kita harus berjumpa,
berkenalan, dan berinteraksi agar kebinekaan atau keragaman itu tak hanya sekadar ada dan diakui tapi juga saling dikenali.
Menghargai keragaman adalah salah
satu bentuk ketaatan kita pada hukum alam. Tuhan
telah menciptakan manusia dengan segala keragaman identitas yang melekat padanya. Menyadari dan
menghormati keragaman, tak hanya sebagai
cara mengenali sesama,
tetapi juga memuliakan ciptaan-Nya.
Berapa
jumlah suku bangsa,
bahasa dan suku di Indonesia? Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia,
hingga tahun 2010, ada 1300-an lebih
suku bangsa di Indonesia. Sementara, Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Badan Bahasa Kemendikbud) telah memetakan dan memverifikasi 718 bahasa daerah di
Indonesia. Agama-agama yang dianut
oleh penduduk Indonesia, jumlahnya juga banyak. Selain Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha, dan
Konghucu, kita juga mengenal agama-agama lokal seperti Parmalim,
Sunda Wiwitan, Kaharingan, Marapu, dan lain sebagainya. Mereka mempraktikkan adat serta
tradisi yang berbeda satu dengan
lainnya. Bahasa yang dituturkan juga tidak sama.
Keyakinan serta ajaran-ajaran yang dianut pemeluknya hadir dalam doktrin
serta ritual yang berlainan.
Perbedaan-perbedaan ini adalah bagian
dari kekayaan bangsa Indonesia yang harus dihormati
dan perlu dijaga.
Salah satu ciri bangsa
Indonesia adalah keragaman yang dimilikinya. Tidak hanya sebagai ciri, kebudayaan yang beragam itu adalah sekaligus jati
diri bangsa Indonesia. Indonesia adalah negara yang memiliki dua identitas
sekaligus. Identitas pertama bersifat primordial atau jati diri yang berkaitan dengan etnis, suku, agama, dan bahasa. Identitas
kedua bersifat nasional. Jika dalam identitas primordial kita melihat banyak sekali jati diri, tidak demikian
halnya dengan identitas nasional. Dalam
jati diri kita yang bersifat nasional, kita bersama-sama memiliki satu warna, satu identitas. Dengan begitu,
keunikan Indonesia terletak pada
keragaman sekaligus kesatuannya. Keragaman
pada identitas kita yang bersifat primordial, sementara kesatuan dan persatuan terletak
pada jati diri kita
yang bersifat nasional.
Tugas besar yang membentang di hadapan
kita sebagai sebuah bangsa yang besar adalah mengelola keragaman
sebagai sebuah kekuatan yang saling mendukung satu dengan
lainnya. Tidak ada cara lain bagi segenap elemen bangsa kecuali
terus mengingat dan menyadari eksistensi kita sebagai bangsa yang dicirikan
oleh kebinekaan pada identitas kita yang bersifat primordial.
Tak hanya menyadari, tetapi proses
selanjutnya harus terus diupayakan, yakni mengenali keragaman-keragaman tersebut. Dalam setiap upaya pengenalan, ada tujuan mulia yang tersimpan
di dalamnya, yakni menghargai
setiap budaya, kepercayaan, suku, serta bahasa sebagai identitas khas dan unik yang melekat pada diri manusia.
Menghargai keragaman identitas kita
mengenal nenek moyang nusantara sebagai pelaut
yang ulung. Tinggal di negara kepulauan, para pelaut nusantara melakukan ekspedisi yang sangat luar biasa panjang. Mereka tak hanya berlayar antar pulau di wilayah nusantara
saja, tetapi melakukan perjalanan yang sangat jauh hingga wilayah Afrika.
Perjalanan laut sudah dilakukan sekitar
abad ke-5 dan ke-7 M. Perjalanan
yang dilakukan memungkinkan mereka berinteraksi dengan kebudayaan yang berbeda di tempat di mana para pelaut itu
singgah. Di situlah terjadi kontak.
Nenek moyang kita berkenalan dengan lingkungan
barunya. Tak hanya berkenalan, beberapa di antaranya menetap dan meneruskan generasinya di sana. Pada apa yang dilakukan
oleh nenek moyang pelaut kita itu, tercipta
sebuah bangunan identitas
khas pada masyarakat Afrika. Di sana dikenal tentang asal-usul ”Zanj” yang namanya merupakan asal-usul nama bangsa Azania, Zanzibar, dan Tanzania. Zanj adalah ras
AfroIndonesia yang menetap di Afrika
Timur, jauh sebelum kedatangan pengaruh Arab
atas Swahili.
Dari peristiwa yang terjadi di masa
silam seperti di atas, kita bisa belajar, setidaknya dua hal. Pertama,
pada setiap perjalanan, seseorang akan bersua dengan perbedaan-perbedaan. Ketidaksamaan itu mewujud dalam tampilan fisik atau
bahasa yang dituturkan. Pada bahasa yang sama sekalipun, ada dialek yang berlainan. Sehingga tetap ada
keragaman dalam sebuah identitas yang pada awalnya kita yakini ada. Dalam hal keyakinan atau ajaran agama, sudah pasti
ada ketidaksamaan. Kita bisa mengibaratkan ini dengan seorang
yang sedang bertamu ke rumah
kerabat, tetangga atau orang yang baru ditemui
dalam kehidupannya. Perjumpaan antara kebudayaan yang berbeda, dalam kasus di atas, kemudian dibungkus dalam sebuah
etika tentang bagaimana sebaiknya
hidup bersama dalam identitas yang beragam tersebut.
Pelajaran kedua dari kisah tentang
perjalanan laut nenek moyang nusantara adalah pembentukan identitas
baru yang tercipta
dari persilangan berbagai identitas. Pada setiap identitas
yang melekat, ada keragaman di sana. Pembentukan itu terjadi melalui
proses perjumpaan budaya yang
melintasi batas-batas geografis yang sangat mungkin
tercipta, karena dunia yang kita huni, sesungguhnya saling terhubung. Jika kita menghargai kebudayaan
yang berbeda, apakah itu artinya
kita tidak menghormati kebudayaan yang kita miliki? Dalam dunia yang sudah terhubung, seperti saat
ini, cara untuk mengetahui bahwa ada
banyak kebudayaan di belahan bumi menjadi lebih mudah. Perangkat teknologi memungkinkan kita mengakses informasi
di tempat yang berbeda dengan
sangat cepat. Pengetahuan kita akan tradisi
serta budaya masyarakat di wilayah lain juga menjadi lebih mudah didapat. Kebanggaan atas jati diri
yang kita miliki, tidak lantas membuat kita harus menganggap rendah identitas bangsa lain. Masing-masing kebudayaan memiliki kekhasan
atau keunikannya masing-masing. Kita tentu berhak untuk
merasa bangga atas apa yang dimiliki. Rasa hormat atas identitas sebagai
sebuah bangsa yang memiliki peradaban
adiluhung, misalnya, adalah sikap yang wajar dimiliki.
Namun, bersamaan dengan sikap bangga
terhadap kebudayaan yang kita
miliki, harus juga ditunjukkan
penghormatan atas budaya bangsa lain.
Indonesia adalah negara yang memayungi
berbagai kebudayaan di dalamnya.
Kebinekaan budaya difasilitasi dan
dimajukan. Tak hanya itu, Indonesia memfasilitasi segala macam ragam kebudayaan yang berkolaborasi dari Sabang sampai Merauke. Kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan dari Aceh hingga Papua. Mari kita cermati
komposisi para peserta
Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Di dalamnya, ada 70
anggota yang berlatar belakang suku
dan agama yang tidak sama. Tak hanya menghormati, kebudayaan-kebudayaan yang ada, baik dalam sebuah negara maupun kebudayaan antar negara, sebaiknya
membangun sebuah kerja nyata yang menunjukkan bagaimana perbedaan itu bisa mendorong
harmonisasi.
Kolaborasi antar budaya bisa menjadi agenda berikutnya. Kolaborasi merupakan sebuah kerja sama
yang dilakukan, baik individu ataupun kelompok.
Mereka yang terlibat
dalam kerja sama itu mendasarkan dirinya pada nilai yang
disepakati, komitmen yang dijaga, serta keinginan untuk menunjukkan kepada
khalayak bahwa perbedaan latar belakang budaya tidak menghalangi siapapun
untuk bisa bekerja bersama-sama. Dengan semangat kolaboratif, jati diri yang
berbeda itu bisa bergandengan tangan menciptakan prakarya kebudayaan. Karena bersifat kolaboratif
maka identitas-identitas yang turut
di dalamnya tidak kehilangan jati dirinya. Persis seperti gambaran tentang
jati diri bangsa Indonesia yang berasal dari keragaman identitas yang masih sangat terjaga, meski
dalam satu waktu, ada identitas yang secara bersama-sama disepakati sebagai identitas
nasional.
Setiap komunitas memiliki keunikan
serta kebijaksanaan yang tumbuh dan
berkembang di antara mereka. Filosofi serta nilai itu yang menghidupi dan dipegang erat oleh mereka.
Pada setiap nilai yang hidup tersebut,
selalu ada makna dan nilai yang berguna
untuk menjunjung harkat dan martabat
manusia. Dunia, saat ini memerlukannya. Mengapa? Saat ini, umat manusia
di dunia dihadapkan pada tiga tantangan. Pertama, kehidupan umat manusia sedang
berada di bawah ancaman (wacana) "clash of civilizations", yang tiada lain
berusaha mempertarungkan satu peradaban dengan
peradaban lainnya. Ancaman yang dihadapi bukan pada kekhawatiran akan munculnya perang dunia baru. Lebih
dari itu, apa yang menjadi kegelisahan
para penyeru mahzab etika universal adalah timbulnya konflik identitas atas dasar, agama, nilai, ideologi, dan budaya
antar negara atau dalam satu negara. Kedua, munculnya
gerakan fundamentalisme
khususnya yang berkaitan dengan ideologi tertentu, yang kerap kali menutup pintu rapat-rapat bagi masuknya segala
produk modernitas. Mereka melihat bahwa kekuatan ajaran agama ada dalam ruh yang paling fundamen dan itu
menjadi jalan keluar bagi berbagai macam kesengsaraan sosial sekaligus reaksi terhadap peradaban
Barat yang sekuler.
Ketiga,
tantangan umat manusia
adalah munculnya banyak
varian dogmatisme yang eksis dalam setiap nilai atau ideologi (Kung, 2000:229-230).
Hal inilah yang menjadi akar persoalan munculnya
berbagai pertentangan antara
dogmatisme dan pragmatisme, fundamentalisme dan pencerahan. Di luar tiga tantangan itu, sesungguhnya ada hal yang indah dan menarik, yakni eksistensi kearifan
dalam setiap masyarakat dunia. Kearifan ini yang secara universal mengajak
masyarakat untuk kembali kepada kesejatian hidup saling berpegang erat antar sesama dan bahu membahu menyelamatkan bumi. Mengenali kearifan
masyarakat yang ada di banyak
negara adalah salah satu cara untuk meredam gejolak akibat superioritas
kelompok tertentu. Promosi
atas kebudayaan yang dimiliki menjadi
sangat terbuka dalam dunia
yang sudah terhubung. Teknologi dan informasi
memungkinkan hal tersebut
terjadi.
Apa arti penting dari keragaman tradisi yang
kita miliki?
Bagaimana kita memaknai keragaman dalam kehidupan keseharian? Mula-mula, tentu saja ada kebanggaan
karena bagaimana pun juga keragaman
tradisi yang dimiliki
menunjukkan bahwa kita adalah bangsa
yang kaya. Tak hanya itu, tradisi yang kaya tersebut
pada perkembangannya bisa hidup saling
berdampingan, tidak saling menaikkan satu dengan lainnya.
Bayangkan, jika satu kebudayaan merasa
dirinya lebih adiluhung daripada kebudayaan lain.
Atau, jika ada pemeluk agama yang menganggap ajarannya yang paling
sempurna, sehingga pemeluk
agama lain tidak berhak hidup di negara ini. Kalau ada klaim keunggulan budaya atau agama, sudah pasti kita tidak lagi menjadi negara yang bineka, yang kaya akan tradisi tersebut.
Di Indonesia, semua kebudayaan memiliki
posisi yang sama.
"Tidak ada satu budaya yang lebih unggul atau lebih superior dibandingkan dengan budaya lainnya. Semua
warga negara dengan segala identitas
primordial yang melekat
padanya; agama, etnis, bahasa,
dan lainnya berada pada payung yang sama. Mereka dijamin untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya, dan diberi
kesempatan yang sama pula untuk
mengembangkan dan memajukan kebudayaan serta tradisi
leluhurnya. Sebagai sebuah bangsa, kita cukup teruji
mengelola keragaman kebudayaan tersebut, sehingga terhindar dari disintegrasi".
Kita telah melewati ujian yang sangat
menentukan, terutama ketika pada masa
Reformasi tahun 1998. Konflik bernuansa etnis dan agama, banyak terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Tetapi,
fase tersebut bisa dilewati dengan
baik, meski tentu saja tidak sempurna. Kita pun terhindar dari perpecahan. Kebanggaan akan tradisi dan budaya, sebaiknya
tidak berhenti sebatas romantisme saja. Tradisi
tidak hanya perlu dilestarikan agar terjaga dari kerusakan. Lebih dari itu, tradisi harus terus dihidupkan
sekaligus direvitalisasi. Nilainya perlu dipertahankan dalam situasi yang terus berubah.
Tantangan yang dihadapi
saat ini datang dari berbagai
dimensi (sosial, ekonomi,budaya) serta berasal dari semua arah (lokal, nasional, dan internasional).
Untuk Peserta didik Kelas X
Berikut adalah beberapa gambar terjadinya konflik suku, etnis, dan agama yang telah terjadi di Indonesia :
Gambar 1. Konflik Etnis Tionghoa dan Bugis |
Sulawesi Selatan
|
Gambar 2. Tragedi Sampit KALIMANTAN |
|
Gambar 3. Konflik Poso antara Islam Vs Kristen SULAWESI TENGA H |
|
Gambar 4. Perang Suku Lampung dan Bali LAMPUNG |
|
Gambar 5. Perang suku di Papua PAPUA |
Penugasan :
Dengan melihat Gambar ini, diharapkan peserta didik dapat mengerjakan tugas LKPD yang diberikan oleh Bapak Cucuk Oktriviyanto, S,Pd selaku guru mata pelajaran Pendidikan Pancasila tentang Makna dan Nilai dari Keragaman elemen Bhineka Tunggal Ika.
Berikan Komentar Anda di bawah ini, setelah membaca wacana di atas. Terima kasih sudah mengunjungi blog ini.. semoga sehat dan sukses..