Sabtu, 01 Oktober 2022

PELUANG DAN TANTANGAN PENERAPAN NILAI-NILAI PANCASILA DALAM KEHIDUPAN GLOBAL




Peluang dan Tantangan Penerapan Pancasila

Peluang penerapan Pancasila merupakan kesempatan dan usaha mencapai persatuan dan kesatuan dengan menerapkan nilai Pancasila. Peluang penerapan Pancasila ini dapat kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Di era globalisasi dan digital seperti sekarang, peluang penerapan Pancasila bisa dilakukan dengan menggunakan teknologi informasi.

Dengan teknologi informasi, kita bisa mengampanyekan nilai-nilai Pancasila ke seluruh dunia dengan mudah dan cepat. Sehingga praktik kehidupan sehari-hari yang berpedoman pada Pancasila bisa menjadi inspirasi negara-negara lain di dunia.

Beberapa contoh peluang Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, antara lain:

1). Menyuarakan dana bantuan melalui website.

2). Berdiskusi jarak jauh.

3). Menyebarkan bantuan melalui pesan.

4)   Mengoreksi informasi hoaks.

5)    Menyuarakan Bhinneka Tunggal Ika di Media Sosial.

6)      Membuat komunitas keagamaan di media sosial.

7)      Mendengarkan ceramah melalui video tentang kampanye kemanusiaan melalui media sosial.

8)      Ikut komunitas tanaman hias.

9)      Konsultasi daring dengan dokter hewan.

Contoh Peluang Pancasila di Era Digital

1. Landasan menyebarkan kebaikan yang selaras dengan nilai-nilai Pancasila.

2. Dasar filter penerimaan atau penolakan budaya asing.

3. Berpeluang menjadi identitas negara.

4. Sebagai landasan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

5. Menjadi pelindung budaya Indonesia dari pengaruh budaya asing.

6. Menumbuhkan rasa nasionalisme.

 7. Beperan sebaga penyaring berbagai ideologi asing yang masuk ke Indonesia.

8. Landasan dalam bertindak yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

9. Menumbuhkan rasa bangga terhadap Tanah Air.

Selain itu, Pancasila sebagai ideologi negara yang terbuka juga dapat menyerap nilai-nilai baru yang bermanfaat dan tidak menyimpang.


TUGAS KELOMPOK KELAS X FASE E SEMESTER 1

MATA PELAJARAN PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN 

SMK NU MA'ARIF 2 KUDUS 

Peserta didik dapat memilih tantangan penerapan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari di bawah ini kemudian jadikan sebagai judul/bahan dalam pembuatan artikel dengan media blogger sesuai kreatifitas pada kelompok kalian. Berikut link cara pembuatan blogger :   

https://www.youtube.com/watch?v=yire0W7U130

Tantangan Penerapan Pancasila

Penerapan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari juga memunculkan tantangan tersendiri bagi generasi muda saat ini, apalagi dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih. 

Tantangan Penerapan Pancasila dalam Kehidupan Sehari-hari, antara lain:

  1. Munculnya paham atau pemikiran baru yang bertentangan dengan nilai-nilai dan ideologi Pancasila.
  2. Masuknya budaya asing yang dapat mengikis budaya asli Indonesia.
  3. Masuknya kebiasaan dan informasi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai penggunaan gadget yang berlebihan.
  4. Berkembangnya hoaks yang kini sangat masif di media sosial yang tak jarang bersifat            merugikan.
  5. Banyak ujaran kebencian dan SARA yang tidak sesuai dengan tujuan Pancasila.
  6. Kurangnya kesadaran akan pentingnya menjaga nilai Pancasila.
  7. Banyak generasi muda yang ikut-ikutan tren tanpa memikirkan identitas bangsa. 
  8. Adanya berbagai ideologi asing yang masuk Indonesia.
  9. Masuknya berita bohong atau hoaks.
  10. Indonesia memiliki banyak latar belakang suku dan budaya, sehingga ada tantangan bagi             masyarakat untuk bersikap saling menghargai dan mencegah diskriminasi
  11. Masih banyak contoh kurangnya pengawasan dan hukuman dari pihak berwajib bagi orang          yang berlaku tidak adil.
  12. Penggunaan gadget berlebihan, sehingga orang Indonesia mudah terpengaruh hal-hal negatif        dan kurang beradab.
  13. Adanya kesenjangan sosial dan ekonomi antar daerah menurunkan rasa nasionalisme dan            persatuan masyarakat.




CONTOH KUMPULAN ARTIKEL TANTANGAN PENERAPAN NILAI-NILAI PANCASILA 
DI ERA DIGITAL


KASUS  ANCAMAN BERITA HOAX BAGI NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

Jakarta - Deputi Hubungan Antar Lembaga, Sosialisasi, Komunikasi, dan Jaringan, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menggelar webinar bertema 'Gotong Royong Pembumian Pancasila Melalui Media' hari ini. Adapun acara tersebut dihadiri lebih dari 130 peserta.
Dalam kesempatan tersebut, Sekretaris Utama BPIP, Karjono menjelaskan bahwa saat ini tidak ada batasan ruang dan waktu dalam mendapatkan informasi.

"Di era milenial dan digital ini ketika informasi tidak ada batasan ruang dan waktu," ujarnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (27/2/2021).

Karjono menjelaskan tidak adanya batasan ruang membuat banyaknya berita hoaks bermunculan. Oleh karena itu, ia mengimbau agar masyarakat selalu menggunakan hati dan bijak dalam menggunakan media sosial.

"Tidak menutup kemungkinan ada berita hoaks oleh karena itu mari menggunakan hati dalam menggunakan media yaitu santun sopan dan bijak dalam menggunakannya," katanya.

Guna mencegah hoaks, Karjono menjelaskan seluruh pihak juga harus mendukung dan menghargai UU ITE dan Pers. Ia menegaskan pers dan semua pihak harus membuat media sosial menjadi tempat nyaman untuk mencari informasi.

Baca juga:
Polisi Ajak AMSI Jatim Perangi Hoaks
"Kami mendukung dan menghargai UU ITE dan Pers karena kemerdekaan dan kebebasan pers dijamin di negara ini. Tapi bebas bukan berati bebas sepenuhnya karena masih harus berdasarkan norma, tidak membalikkan fakta, dan lainnya. Untuk itu mari membuat media nyaman," imbuhnya.

Di sisi lain, Staf Ahli Menteri Bidang Komunikasi dan Media Massa Kementerian Komunikasi dan Informatika, Henri Subiakto menjelaskan bahwa di era digital ini penting untuk memahami dan menjaga Pancasila bersama-sama.

"Di era sekarang harus memahami bahwa Pancasila dan negara adalah anugerah yang harus dijaga. Kebinekaan yang sangat luar biasa bisa bersatu karena dulu founding father berjanji dan disatukan oleh semangat yang sama membangun bangsa dengan Ideologi Pancasila," jelasnya.

Henri menegaskan Indonesia merupakan wilayah yang jadi rebutan. Bahkan, tak jarang orang yang juga ingin menancapkan ideologi baru di Indonesia.

Oleh karena itu, ia mengimbau agar seluruh pihak bekerja sama menjaga bangsa Indonesia. Terlebih saat ini, kebenaran semu banyak terjadi di media sosial.

"Kebenaran semu banyak tercipta yang seakan benar karena pendukungnya banyak padahal belum tentu secara hakikat seperti itu," paparnya..

Menurutnya, pers sekarang tidak bisa dipisahkan dengan digital dan harus berada di ruang digital.

"Pers memiliki tanggung jawab menjaga nilai kebijakan, memperkuat nilai kebangsaan, dan konten yang positif bukan keranjang sampah," katanya.

Di sisi lain, Staf khusus Presiden, Ayu Kartika Dewi menegaskan bahwa fungsi media bukan hanya sekadar hiburan.

"Fungsi media itu buka sebagai hiburan saja, media adalah sekolah sepanjang masa," tegasnya.

Ayu juga menambahkan saat ini media berperan penting dalam banyak hal mulai dari menjadi mata publik hingga mengajarkan norma di masyarakat.

"Peran penting media masa adalah menjadi mata publik, menjelaskan berbagai fenomena, pendidikan mengajarkan norma, dan hiburan," katanya.

Terkait hal ini, Ayu juga menyampaikan implementasi Pancasila sangat diperlukan. Menurutnya, implementasi Pancasila yang baik adalah internalisasi terhadap diri sendiri dalam kehidupan sehari-hari.

Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP, Antonius Benny Susetyo menjelaskan saat ini di media banyak orang bertopeng yang ingin menunjukkan eksistensinya.

"Di media sekarang orang itu anonim sehingga orang bisa menggunakan topeng karena tidak berhadapan langsung dengan orangnya. Dalam topeng ini memerankan banyak peran karena ingin menunjukkan eksistensinya," jelasnya.

Baca artikel detiknews, "Cegah Hoaks, BPIP Gelar Webinar soal Implementasi Pancasila di Medsos" selengkapnya https://news.detik.com/berita/d-5474239/cegah-hoaks-bpip-gelar-webinar-soal-implementasi-pancasila-di-medsos.

Download Apps Detikcom Sekarang https://apps.detik.com/detik/

Soal unsur SARA, Benny menambahkan media sosial menjadi magnet kuat yang tentunya membahayakan keutuhan bangsa.

"Permasalahan SARA sangat kuat untuk menjadi magnet perbincangan di media massa dan banyak segmennya. Ini tentunya membahayakan keutuhan bangsa," paparnya.

Terkait hoax, Benny mengatakan hoaks dapat menimbulkan kepanikan dan menghancurkan kultur kemanusiaan sehingga perlu dilawan dengan konten positif.

"Hoaks menciptakan kepanikan, menghancurkan kultur kemanusiaan, dan menghilangkan harapan. Kita harus merebut ruang publik dengan konten positif. Jika ini terus menerus diisi maka perilaku positif akan terwujud," katanya..

Untuk itu, Benny berpesan peran media sosial harus mampu memajukan peradaban dan menjaga moralitas publik.

"Peran ke depan media sosial harus mampu mewujudkan untuk memajukan peradaban bukan penghancur keadaban serta menjaga moralitas publik," pungkasnya.
(prf/ega)


Tantangan Penerapan Nilai-Nilai Pancasila Dari Sila Pertama Sampai Sila Kelima

    Globalisasi  merupakan sebuah tantangan dan juga peluang yang harus di hadapi oleh seluruh bangsa di dunia termasuk Indonesia. Perkembangan teknologi dan informasi sangat pesat sehingga menimbulkan berbagai dampak positif dan dampak negatif bagi kehidupan kita. Di sinilah peran Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa diperlukan karena Pancasila merupakan nilai-nilai luhur yang telah diwariskan oleh para pendahulu bangsa Indonesia. Nilai-nilai luhur tersebut digunakan sebagai pedoman dalam berperilaku sehari-hari, baik sebagai diri sendiri maupun sebagai anggota masyarakat. 
    Tantangan nyata yang harus dihadapi oleh Bangsa Indonesia saat ini adalah era globaliasi. Dalam merespon globalisasi kita harus tetap berpegang teguh dengan nilai-nilai yang ada di dalam Pancasila. Contoh ancaman-ancaman yang sekarang ini banyak sekali kita dengar yaitu kabar mengenai isu SARA, fenomena intoleransi, kabar-kabar hoax, dan banyak sekali tindakan provokasi yang menghiasi berita di televisi kita. Hal ini adalah dampak negatif dari era globalisasi saat ini. Di era globalisasi, peran Pancasila ini sangatlah penting karena dapat digunakan sebagai pembatas atau penyaring budaya-budaya yang sesuai dengan Bangsa Indonesia. Banyak sekali budaya yang tidak sesuai jika di terapkan di Indonesia jadi kita harus tetap menyeleksi dan mengambil yang bermanfaat saja seperti perkembangan teknologi, informasi, dan pengetahuan. Salah satu tantangan globalisasi yang sekarang terjadi adalah banyak sekali pemahaman atau tindakan yang tidak mencerminan aktualisasi nilai-nilai ideologi Pancasila. 

    Sila pertama adalah tantangan aktualisasi nilai Sila Kesatu dalam pancasila pada diri anak bangsa yang merupakan hasil dari nilai spiritualitas Ketuhanan yang Maha Esa melawan berbagai paham seperti komunisme, teokrasi, dan liberalism. Tantangan tersebut dapat tercipta karena adanya perspektif dari warga negara yang melihat adanya alternative ideologi agama bagi negara kita misalnya ingin membentuk negara khilafah. Selain itu juga masih ditemukan masyarakat yang tingkah lakunya tidak mencerminkan perilaku orang yang beragama. Jadi agama ini hanya digunakan sebagai syarat administrasi yang ada di dalam KTP, tetapi tidak diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari.

  Sila Kedua dalam Pancasila yaitu nilai Kemanusiaan yang Adil dan Beradab melawan fundamentalisme dan sektarian. Sila kedua ini mengandung makna bahwa setiap manusia berhak mendapatkan nilai pengakuan yang sama sebagai makhul individu ataupun sebagai makhluk sosial. Tantangan aktualisasi dari sila kedua ini adalah mengenai pengakuan hak-hak seperti  hak memperoleh informasi,  hak mendapatkan penghormatan atas harga diri, dan juga hak untuk beribadah sesuai dengan keyakinan masing-masing. Sekarang ini masih banyak perilaku yang menyimpang dari sila kedua seperti perilaku persekusi, perundungan, dan menghujat orang lain. Seharusnya masyarakat berpikir bahwa setiap orang itu memiliki harkat dan martabat yang sama. Selain itu, kita sebagai manusia seharusnya lebih meningkatkan rasa tenggang rasa terhadap sesama.

     Sila Ketiga dalam Pancasila yaitu Persatuan Indonesia melawan nilai hegemoni dan komunitas. Sila ketiga mengandung nilai kesatuan dan keterikatan sebagai seuatu negara yang sudah merdeka. Tantangan aktualisasi dari sila ketiga ini adalah adanya masyarakat yang memiliki sifat persatuan tetapi itu hanya dalam kelompoknya saja. Ini membuktikan bahwa sebagian masyarakat Indonesia lebih mementingkan kepentingan kelompoknya daripada Bangsa Indonesia secara luas. Selain itu, ada juga orientasi yang lebih parah lagi yaitu menganggap negara sebagai agama dalam perspektif baru. Maksudnya adalah mereka hanya menerima aturan-aturan tertentu saja yang sesuai dengan agama mereka dan jika tidak sesuai mereka akan menolaknya. Pemikiran seperti ini lah yang menurut saya bisa mengurangi nilai persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia.
    
   Sila Keempat dalam Pancasila yaitu Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan melawan nilai liberalism dan sektarianisme. Sila keempat ini mengandung nilai-nilai demokrasi yang dapat menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bangsa, serta dapat meningkatkan kesejahteraan bersama. Contoh tantangan pada sila keempat ini adalah politik identitas. Dalam pelaksanaannya para elite politik akan mengajak masyarakat untuk memilih tokoh berdasarkan etnisitas. Hal ini menurut saya sangat tidak mencerminkan nilai demokrasi yang adil.  Selain itu, juga ada politik uang yang dimana masyarakat Indonesia akan memilih calon pemimpin berdasarkan uang yang telah diberikan. Ini tentu saja bertentangan dengan nilai sila keempat. Seharusnya sebagai warga negara yang baik kita harus memilih calon pemimpin berdasarkan kemampuannya, bukan berdasarkan uang yang telah diberikan.

  Sila Kelima dalam Pancasila yaitu Keadian Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia melawan kapitalisme dan individualisme. Sila kelima ini mengandung nilai-nilai keadilan untuk mewujudkan kehidupan yang baik dalam bermasyarakat maupun bernegara. Contoh tantangan pada sila kelima ini yaitu adanya penguasaan pasar oleh para kaum pemilik modal besar, sedangkan kaum dengan modal kecil akan terpinggirkan. Selain pada bidang berekonomian, tantangan aktualisasi ini juga terjadi pada bidang hukum karena menurut saya hukum kita ini masih terlalu runcing ke bawah dan tumpul ke atas. Ini menyebabkan kesengsaraan bagi rakyat kecil dan untuk kaum golongan atas hukum ini akan disepelekan. Berbagai tantangan dari kelima sila dalam Pancasila di era globalisasi ini sudah sepatutnya lebih diperhatikan oleh pemerintah atau mungkin bisa kita mulai dari diri kita sendiri. Mari kita tanamkan nilai-nilai Pancasila pada diri kita masing-masing dengan pemahaman yang benar. Jangan sampai nilai-nilai luhur Pancasila yang telah dibentuk oleh para pendahulu kita ini tergerus oleh adanya globalisasi. Bahkan seharusnya Pancasila ini digunakan penyaring atau filter bagi diri kita untuk menghadapi berbagai dampak negatif yang ada di era globalisasi. Dengan kita menyaring dampak negatif dari globalisasi, diharapkan kehidupan berbangsa dan bernegara kita dapat berjalan dengan aman dan tentram.


Kegaduhan Medsos Ancam Pancasila, Transformasi Digital Butuh Kemandirian



Artikel ini telah diterbitkan di halaman SINDOnews.com pada Sabtu, 27 Februari 2021 - 16:49 WIB oleh Agung Bakti Sarasa dengan judul "Kegaduhan Medsos Ancam Pancasila, Transformasi Digital Butuh Kemandirian". Untuk selengkapnya kunjungi:
https://nasional.sindonews.com/read/348846/15/kegaduhan-medsos-ancam-pancasila-transformasi-digital-butuh-kemandirian-1614416527

    BANDUNG - Selain menghadirkan sisi positif, maraknya penggunaan media sosial (medsos) di era digital saat ini menimbulkan dampak negatif, salah satunya maraknya hoaks atau kabar bohong yang mengancam Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia. Bahkan, medsos kini diibaratkan sebagai "keranjang sampah" mengingat banyaknya disinformasi yang dikhawatirkan bakal berdampak luas terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat. "Pengguna medsos di Indonesia 196,7 juta orang. Medsos jadi ajang aktivitas sosial, itulah yang menyebabkan muncul kegaduhan-kegaduhan di media sosial. Media sosial jadi sumber disinformasi, fakta-fakta dikesampingkan dan keyakinan didahulukan. Itulah post truth paradocks of democracy," tutur Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo)Henry Subiakto dalam Webinar Series yang digelar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Sabtu (28/2/2021).Baca juga: Bisnis Digital dan Aktuaria, Dua Jurusan Baru yang Banyak Diburu Terlebih, lanjut Henry, medsos kini marak digunakan sebagai jalan masuknya ideologi transnasional dan radikalisme. Kedua ideologi itu akan sangat berbahaya jika bersinergi dengan kekuatan politik praktis. "Apalagi, sampai saat ini, masih ada pihak-pihak yang ingin mengubah ideologi pancasila. Ini adalah konsekuensi ideologi transnasional," katanya. Dalam Webinar Series yang mengusung tema Gotong Royong Mengaktualisasikan Pancasila: Pers Sebagai Akselerator Perubahan Melalui Media itu, Henry menegaskan di tengah kondisi tersebut, peran pers sangat dibutuhkan. Menurutnya, pers menjadi benteng untuk mem-filter ideologi transnasional dan proxy asing. "Di era digital, pers dituntut berperan aktif menjaga nilai kebangsaan dan ruang digital dan tidak membiarkan media sosial menjadi 'keranjang sampah'," ucapnya. "Jangan biarkan media sosial ini jadi 'keranjang sampah' yang berisi sumpah serapah, fitnah, gibah karena akan merugikan pers sendiri," sambung Henry.Baca juga: Kemandirian Digital Harus Didukung Regulasi yang Memadai Henry mengaku prihatin dengan masih adanya pers yang mengenyampingkan prinsip norma umum atas nama kebebasan berpendapat, seperti melakukan fitnah tanpa bukti. "Di sinilah dibutuhkan gotong royong sebagai implementasi Pancasila. Peran pers dibutuhkan untuk membantu membumikan Pancasila. Apalagi, pers kita ini adalah pers Pancasila," katanya.


Sumber informasi dari :

Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Tantangan Pancasila di Era Globalisasi", Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/hendriarmandapridianto8827/60968f0dd541df10ac478ef2/tantangan-pancasila-di-era-globalisasi

Aulia, S. S. 2017. Pancasila di Arus Globalisasi dalam Memperkuat Reformasi Moral Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Kewarganegaraan 2017.

Silitonga, T. B. 2020. Tantangan globalisasi, peran negara, dan implikasinya terhadap aktualisasi nilai-nilai ideologi negara. Jurnal Civics: Media Kajian Kewarganegaraan, 17(1), 18-22.

https://www.kompasiana.com/hendriarmandapridianto8827/60968f0dd541df10ac478ef2/tantangan-pancasila-di-era-globalisasi?page=2&page_images=1

Baca artikel detiknews, "Cegah Hoaks, BPIP Gelar Webinar soal Implementasi Pancasila di Medsos" selengkapnya https://news.detik.com/berita/d-5474239/cegah-hoaks-bpip-gelar-webinar-soal-implementasi-pancasila-di-medsos.

Download Apps Detikcom Sekarang https://apps.detik.com/detik/

Kamis, 29 September 2022

PENERAPAN NILAI - NILAI PANCASILA DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT DAN BERBANGSA

NILAI - NILAI PANCASILA

Pancasila merupakan ideologi dasar bagi negara Indonesia dan untuk menjadi warga negara yang baik di Indonesia harus sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Hal inilah yang mendasari betapa pentingnya Pancasila sebagai acuan ataupun pedoman tentang bagaimana berperilaku menjadi warga negara yang baik di Indonesia. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila akan mengajarkan cara berfikir dan bertindak yang sesuai dengan ideologi negara.

Pancasila sendiri memiliki 5 sila, yaitu:

1. Ketuhanan Yang Maha Esa

2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab

3. Persatuan Indonesia

4. Kerakyatan yang dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan

5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Kita wajib untuk mengamalkan nilai yang terkandung dalam sila yang ada di pancasila dalam kehidupan sehari hari. Sila pertama adalah sila yang berkaitan dengan sikap kita sebagai umat pada Tuhan nya.

Warga Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing. Warga negara Indonesia harus memahami akan pentingnya agama sebagai pondasi awal sikap warga terhadap tuhan Yang maha esa dan dari hal itu akan memunculkan sikap toleransi antar umat beragama dan saling hormat menghormati antara satu agama dengan agama yang lain.

Sila ke- dua berhubungan terhadap perilaku kita sebagai manusia yang pada hakikatnya semua sama di Dunia ini. Dari sila kedua ini, setiap warga negara Indonesia harus memperhatikan akan pentingnya sikap kemanusiaan antar warga negara. 

Dengan kata lain, setiap warga negara Indonesia harus bisa saling bantu membantu, tolong-menolong antar sesama warga negara dan memiliki sifat kekeluargaan antar warga negara, meskipun berbeda suku dan budayanya. Namun, sikap kemanusiaan harus tetap melekat di dalam diri setiap wanita negara Indonesia agar tercipta situasi kondisi aman tentram dan memberikan kenyamanan bagi kita semua.

 


Sila ke-tiga adalah nilai penting yang harus semua pahami. Setiap wanita negara Indonesia harus berupaya sesuai kemampuan mereka untuk membangun negeri ini menjadi negeri yang makmur dan sejahtera. Jadi, setiap warga harus memiliki kontribusi dalam membangun negeri menjadi negara yang mampu bersaing dengan negara lain baik di asia tenggara bahkan mampu bersaing dengan negara-negara besar dunia lainnya.

 


Pada sila ke-empat berkaitan dengan perilaku kita untuk selalu bermusyawarah dalam menyelesaikan masalah. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama , mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan, menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil musyawarah dengan iktikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah. Melalui hasil musyawarah mufakat inilah akan terciptanya lingkungan masyarakat yang damai tentram dan akan berdampak baik bagi kelangsungan hidup masyarakat.

 

Sila ke-lima adalah perilaku kita dalam bersikap adil terhadap semua orang. Seperti yang kita tahu bersama, bahwa negara kita dibangun dengan bedasarkan keadilan yang di junjung di seluruh negeri. jadi, untuk itu kita harus memiliki perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan, sikap adil terhadap sesama. Tingkatkan rasa kerjasama kepada siapapun untuk meningkatkan keadilan satu sama lain, tidak saling melempar kesalahan. Dan yang terpenting adalah sikap kekeluargaan yang harus terus dijaga agar negara kita menjadi negara kuat dan di segani oleh bangsa lain.

Kesimpulan dari artikel ini adalah untuk menciptakan sebuah bangsa yang kuat dalam berbagai bidang. Maka warga negaranya yang harus bergerak, harus berusaha, harus memiliki rasa nasionalisme yang tinggi terhadap bangsanya sendiri. Tidak dengan mudahnya mencintai budaya bangsa lain dibandingkan bangsa sendiri. Maka dari itu sebagai pemuda pemudi bangsa harus memiliki sikap luhur dalam berbagai hal, khususnya dalam berkontribusi di dalam lingkup masyarakat. Agar kedepannya menjadi seorang pemikir yang mampu menjalankan dan menerapkan poin utama yang ada didalam tubuh Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia.




Senin, 26 September 2022

MATA PELAJARAN PENDIDIKAN PANCASILA FASE E KELAS X SMK NU MA'ARIF 2 KUDUS PADA ELEMEN BHINEKA TUNGGAL IKA

 MATERI MAKNA DAN NILAI DARI KEBERAGAMAN



TUJUAN PEMBELAJARAN 


Melalui pembahasan ini, peserta didik diharapkan dapat mengenali dan membangun kesadaran bahwa ada keragaman identitas yang kita miliki sebagai sebuah bangsa. Pembelajaran Unit 2 ini juga ditujukan agar peserta didik dapat menunjukkan penghargaannya terhadap keragaman budaya, baik yang ada di Indonesia maupun dunia.




MATERI



“Pancasila adalah jati diri bangsa Indonesia”. Kita tentu sering mendengar atau membaca kalimat tersebut. Di sana, kita menemukan dua kata yang menjadi frasa, yakni jati dan diri. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), jati diri diartikan sebagai keadaan atau ciri khusus seseorang. Padanan kata jati diri adalah identitas. Jadi, identitas dan jati diri akan digunakan secara bergantian untuk merujuk pada pengertian yang sama. Jati diri atau identitas tidak hanya melekat pada individu, tetapi juga kelompok: kelompok kecil seperti keluarga atau kelompok besar seperti halnya bangsa dan negara. Setiap diri kita diberikan keunikan masing-masing. Kekhususan yang ada pada diri kita, membentuk apa yang disebut identitas tadi. Keunikan yang juga ada pada sebuah kelompok, membedakannya dengan kelompok yang lain. Setidaknya, ada dua pendapat besar tentang bagaimana identitas itu terbentuk. Pertama, ada yang beranggapan bahwa identitas itu gifed atau terberi. Identitas, dalam pandangan kelompok ini, merupakan sesuatu yang menempel secara alamiah pada seseorang atau sebuah grup. Seseorang yang dilahirkan memiliki ciri fisik tertentu, seperti berkulit putih, bermata biru, berambut keriting adalah contoh tentang bagaimana kita memahami identitas dalam diri sebagai sesuatu yang alamiah. Kedua, identitas yang dipahami sebagai hasil dari sebuah desain atau rekayasa. Konstruksi identitas seperti ini bisa dilakukan dalam persinggungannya dengan aspek budaya, sosial, ekonomi, dan lainnya. Berbeda halnya dengan identitas yang secara alamiah melekat pada diri manusia, identitas atau jati diri dalam pengertian ini, terlahir sebagai hasil interaksi sosial antar individu atau antar kelompok. Jati diri sebuah bangsa adalah contoh bagaimana identitas itu dirumuskan, bukan diberikan secara natural.

Identitas individu adakalanya bersifat alamiah, tapi juga bisa melekat karena hasil interaksi dengan individu dan kelompok lain. Begitu juga identitas kelompok. Ada identitas yang berasal dari sebuah interaksi dengan kelompok di luar dirinya, serta jati diri yang secara alamiah menjadi ciri dari kelompok tersebut. Untuk lebih jelasnya, mari kita simak uraian mengenai empat tipe jati diri tersebut.

Identitas Bayi yang Baru Saja Lahir, pertama, yang kita kenali tentu saja ciri-ciri fisiknya. Warna kulit, jenis rambut, golongan darah, mata, hidung, dan sebagainya adalah sebagian dari ciri yang melekat pada bayi tersebut. Ciri fisik seperti ini bisa kita sebut sebagai karakter atau identitas yang bersifat genetis. Ia melekat pada diri manusia dan dibawa serta sejak lahir. Ciri fisik manusia, sudah pasti berbeda satu dengan yang lainnya. Sekalipun lahir dari rahim yang sama, akan tumbuh dengan ciri fisik yang berbeda, termasuk mereka yang terlahir kembar. Ada identitas fisik, yang secara alamiah, membedakan dirinya dengan saudara kembarnya itu. Di luar karakter fisik, identitas individu juga bisa berasal dari aspek yang bersifat psikis, misalnya sabar, ramah, periang,  dan seterusnya. Kita mengenali seseorang karena sifatnya yang penyabar atau peramah. Sebetulnya, sifat ini juga bisa menjadi ciri dari kelompok tertentu.

Identitas Individu yang Terbentuk Secara Sosial, selain karakter  yang terbentuk secara alamiah, kita bisa mengenali jati diri seseorang atau individu karena hasil pergumulannya dengan mereka yang ada di luar dirinya. Dari interaksi itu, lahirlah identitas individu yang terbentuk sebagai buah dari hubungan-hubungan keseharian dengan identitas di luar dirinya. Identitas diri itu terbentuk bisa karena pekerjaan, peran dalam masyarakat, jabatan di pemerintahan, dan sebagainya. Dalam hal pekerjaan, misalnya, guru dan peserta didik adalah contohnya. Seseorang menjadi guru karena ia menjalankan tugasnya untuk mengajar dan menyebarkan ilmu pengetahuan kepada murid-muridnya. Ia sendiri tidak terlahir otomatis sebagai guru, tetapi identitasnya itu didapatkan karena ada pekerjaan yang dijalankannya. Peserta didik adalah murid-murid yang diajar, menerima pengetahuan serta belajar bersama dengan guru. Identitas sebagai peserta didik tidak melekat sejak lahir, bukan sesuatu yang alamiah atau genetik. Peserta didik adalah jati diri yang tercipta karena seseorang datang ke sekolah dan mendaftarkan diri untuk menjadi murid di sekolah tertentu.

Identitas Kelompok yang Alami Selain Melekat Pada Individu, ada juga identitas yang secara alamiah menjadi ciri dari kelompok. Jadi, dalam suatu kelompok, ada individu-individu yang menjadi anggotanya dan memiliki ciri yang sama. Istilah ras atau tribe dalam bahasa Inggris, itulah salah satu contoh bagaimana yang alamiah melekat kepada sebuah kelompok. Ras digunakan untuk mengelompokkan manusia atas dasar lokasi geografis, warna kulit serta bawaan fisiologisnya, seperti warna kulit, rambut dan tulang. Ada banyak yang berpendapat tentang penggolongan ras ini. Salah satunya adalah penggolongan ras dalam lima kelompok besar: "ras Kaukasoid", "ras Mongoloid", "ras Ethiopia" (yang kemudian dinamakan "ras Negroid"), "ras Indian" dan "ras Melayu." (Blumenbach dalam Schaefer, 2008).

Identitas Kelompok yang Terbentuk secara Sosial Selain Terbentuk Secara Alamiah, jati diri sebuah kelompok juga bisa terbangun karena bentukan atau dibentuk. Seperti halnya identitas individu yang terbentuk karena interaksi mereka secara sosial, begitu pula halnya identitas kelompok. Mereka yang suka sepak bola, pasti mengenal banyak nama klub atau kesebelasan, baik di dalam maupun luar negeri. Contoh lain adalah organisasi peserta didik di sekolah. Identitas sebagai organisasi peserta didik merupakan jati diri yang terbentuk atau dibentuk. Lebih tepatnya, difasilitasi oleh pihak sekolah. Bangsa dan negara adalah sebuah kelompok sosial.

Setiap bangsa memiliki identitasnya masing-masing. Begitu pun juga negara. Dasar, simbol, bahasa, lagu kebangsaan, serta warna bendera menjadi salah satu penanda sebuah negara. Sebagai kelompok, negara juga terbentuk secara sosial. Negara Indonesia dibentuk atas dasar perjuangan rakyatnya, baik yang dilakukan melalui berbagai medan pertempuran maupun upaya diplomasi di meja perundingan.

 

Mengenali dan Menyadari Keragaman Identitas Sebagai Makhluk Sosial


Ciri yang melekat pada manusia adalah keinginan untuk melakukan interaksi satu dengan lainnya. Interaksi berarti hubungan timbal balik yang dilakukan baik antar individu, antar kelompok maupun individu dengan kelompok. Dalam interaksi, ada proses memengaruhi tindakan kelompok atau individu melalui sikap, aktivitas atau simbol tertentu. Orang akan mengenali yang lain melalui proses interaksi tersebut. Proses untuk mengenali yang lain, dilakukan juga oleh manusia dalam kapasitasnya sebagai makhluk sosial bisa dijumpai melalui cara lain, yakni sosialisasi. Sosialisasi berarti penanaman atau penyebaran (diseminasi) adat, nilai, cara pandang atau pemahaman yang dilakukan oleh satu generasi kepada generasi berikutnya dalam sebuah masyarakat. Melalui sosialisasi, seseorang atau sebuah kelompok menunjukkan nilai-nilai yang dianutnya. Tujuannya, bisa sebatas hanya mengenalkan atau bermaksud memengaruhi yang lain. Dalam sebuah kelompok yang terdiri dari banyak individu, potensi munculnya perbedaan persepsi sangatlah besar. Masing- masing orang memiliki nilai serta pandangan yang menjadi identitasnya. Terhadap pandangan yang tidak sama itu, kemampuan untuk bernegosiasi sangatlah penting. Satu anggota kelompok dengan anggota lainnya, mencari titik temu agar ada satu identitas yang disepakati sebagai jati diri kelompok. Begitu juga yang dilakukan oleh mereka yang ingin membentuk grup atau  kelompok yang  lebih  besar. Kelompok-kelompok kecil  itu berunding untuk menciptakan satu identitas yang bisa mewakili semuanya. Identitas atau jati diri yang menjadi ciri dari kelompok besar itu, bisa saja berasal dari nilai sebuah kelompok kecil yang kemudian disepakati oleh semua kelompok. Atau, ia bisa didapati  dengan cara lain. Identitas itu betul-betul sesuatu yang baru, yang tidak ada pada anggota kelompoknya. Terciptanya identitas kelompok, dengan demikian, mendapatkan pengaruh dari mereka yang menjadi anggotanya. Identitas sebuah grup merupakan hasil dari rumusan dan kesepakatan yang diharapkan bisa menjadi media bagi kelompok lain ketika hendak mengenalinya. Di sini kita bisa menarik dua hal penting, yakni jati diri dan keragaman atau kebinekaan. Mengapa kebinekaan menjadi tema penting dalam kaitannya dengan masalah identitas atau jati diri? Kita perhatikan bagaimana sebuah kelompok terbangun. Jika, katakanlah, ada 10 individu dalam satu kelompok, itu berarti ada 10 cara pandang atau pendapat tentang apa dan bagaimana menciptakan jati diri kelompok tersebut. Begitu pula ketika 100 kelompok hendak menciptakan jati diri untuk satu kelompok besar. Kita akan mendapati 100 jati diri yang sedang berbincang tentang bagaimana menciptakan identitas bersama mereka. Sepuluh, seratus, seribu, dan seterusnya adalah representasi dari kebinekaan atau kemajemukan.

Di dunia ini, ada beragam identitas, baik identitas individu maupun kelompok. Identitas yang tercipta secara alamiah atau dibentuk secara sosial. Keragaman merupakan hukum alam yang harus disadari dan diterima oleh siapapun. Bangsa Indonesia sedari awal telah menyadari akan hal ini. Kita hidup dalam keragaman, namun ingin tetap berada dalam payung yang bisa mengayomi kebinekaan itu. Inilah hakikat dari semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” tersebut. Sebagaimana para pendiri bangsa yang menyadari bahwa Indonesia adalah negara dengan keragaman budaya, agama, etnis, suku dan bahasa, begitupun juga yang harus dilakukan oleh generasi penerus. Kesadaran tentang kebinekaan, harus dilanjutkan oleh kehendak untuk mengenali yang lain.

Berkenalan dengan identitas lain di luar dirinya merupakan cara terbaik ketika kita hidup dengan mereka yang berbeda. Coba diingat, ketika awal berpindah sekolah dari SMP ke SMA. Sebagian besar teman-teman adalah orang-orang baru. Guru-guru yang mengajar pun demikian. Lingkungan sekolah juga berbeda dengan situasi sebelumnya. Jika kita tak bersosialisasi dengan cara mengenal satu dengan yang lain, kita seperti hidup seorang diri, meski faktanya ada banyak orang di sekeliling. Karenanya, kita harus berjumpa, berkenalan, dan berinteraksi agar kebinekaan atau keragaman itu tak hanya sekadar ada dan diakui tapi juga saling dikenali. Menghargai keragaman adalah salah satu bentuk ketaatan kita pada hukum alam. Tuhan telah menciptakan manusia dengan segala keragaman identitas yang melekat padanya. Menyadari dan menghormati keragaman, tak hanya sebagai cara mengenali sesama, tetapi juga memuliakan ciptaan-Nya.

Berapa jumlah suku bangsa, bahasa dan suku di Indonesia? Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, hingga tahun 2010, ada 1300-an lebih suku bangsa di Indonesia. Sementara, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Badan Bahasa Kemendikbud) telah memetakan dan memverifikasi 718 bahasa daerah di Indonesia. Agama-agama yang dianut oleh penduduk Indonesia, jumlahnya juga banyak. Selain Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha, dan Konghucu, kita juga mengenal agama-agama lokal seperti Parmalim, Sunda Wiwitan, Kaharingan, Marapu, dan lain sebagainya. Mereka mempraktikkan adat serta tradisi yang berbeda satu dengan lainnya. Bahasa yang dituturkan juga tidak sama. Keyakinan serta ajaran-ajaran yang dianut pemeluknya hadir dalam doktrin serta ritual yang berlainan.

Perbedaan-perbedaan ini adalah bagian dari kekayaan bangsa Indonesia yang harus dihormati dan perlu dijaga. Salah satu ciri bangsa Indonesia adalah keragaman yang dimilikinya. Tidak hanya sebagai ciri, kebudayaan yang beragam itu adalah sekaligus jati diri bangsa Indonesia. Indonesia adalah negara yang memiliki dua identitas sekaligus. Identitas pertama bersifat primordial atau jati diri yang berkaitan dengan etnis, suku, agama, dan bahasa. Identitas kedua bersifat nasional. Jika dalam identitas primordial kita melihat banyak sekali jati diri, tidak demikian halnya dengan identitas nasional. Dalam jati diri kita yang bersifat nasional, kita bersama-sama memiliki satu warna, satu identitas. Dengan begitu, keunikan Indonesia terletak pada keragaman sekaligus kesatuannya. Keragaman pada identitas kita yang bersifat primordial, sementara kesatuan dan persatuan terletak pada jati diri kita yang bersifat nasional.

Tugas besar yang membentang di hadapan kita sebagai sebuah bangsa yang besar adalah mengelola keragaman sebagai sebuah kekuatan yang saling mendukung satu dengan lainnya. Tidak ada cara lain bagi segenap elemen bangsa kecuali terus mengingat dan menyadari eksistensi kita sebagai bangsa yang dicirikan oleh kebinekaan pada identitas kita yang bersifat primordial. Tak hanya menyadari, tetapi proses selanjutnya harus terus diupayakan, yakni mengenali keragaman-keragaman tersebut. Dalam setiap upaya pengenalan, ada tujuan mulia yang tersimpan di dalamnya, yakni menghargai setiap budaya, kepercayaan, suku, serta bahasa sebagai identitas khas dan unik yang melekat pada diri manusia. Menghargai keragaman identitas kita mengenal nenek moyang nusantara sebagai pelaut yang ulung. Tinggal di negara kepulauan, para pelaut nusantara melakukan ekspedisi yang sangat luar biasa panjang. Mereka tak hanya berlayar antar pulau di wilayah nusantara saja, tetapi melakukan perjalanan yang sangat jauh hingga wilayah Afrika. Perjalanan laut sudah dilakukan sekitar abad ke-5 dan ke-7 M. Perjalanan yang dilakukan memungkinkan mereka berinteraksi dengan kebudayaan yang berbeda di tempat di mana para pelaut itu singgah. Di situlah terjadi kontak. Nenek moyang kita berkenalan dengan lingkungan barunya. Tak hanya berkenalan, beberapa di antaranya menetap dan meneruskan generasinya di sana. Pada apa yang dilakukan oleh nenek moyang pelaut kita itu, tercipta sebuah bangunan identitas khas pada masyarakat Afrika. Di sana dikenal tentang asal-usul ”Zanj” yang namanya merupakan asal-usul nama bangsa Azania, Zanzibar, dan Tanzania. Zanj adalah ras AfroIndonesia yang menetap di Afrika Timur, jauh sebelum kedatangan pengaruh Arab atas Swahili.

Dari peristiwa yang terjadi di masa silam seperti di atas, kita bisa belajar, setidaknya dua hal. Pertama, pada setiap perjalanan, seseorang akan bersua dengan perbedaan-perbedaan. Ketidaksamaan itu mewujud dalam tampilan fisik atau bahasa yang dituturkan. Pada bahasa yang sama sekalipun, ada dialek yang berlainan. Sehingga tetap ada keragaman dalam sebuah identitas yang pada awalnya kita yakini ada. Dalam hal keyakinan atau ajaran agama, sudah pasti ada ketidaksamaan. Kita bisa mengibaratkan ini dengan seorang yang sedang bertamu ke rumah kerabat, tetangga atau orang yang baru ditemui dalam kehidupannya. Perjumpaan antara kebudayaan yang berbeda, dalam kasus di atas, kemudian dibungkus dalam sebuah etika tentang bagaimana sebaiknya hidup bersama dalam identitas yang beragam tersebut.

Pelajaran kedua dari kisah tentang perjalanan laut nenek moyang nusantara adalah pembentukan identitas baru yang tercipta dari persilangan berbagai identitas. Pada setiap identitas yang melekat, ada keragaman di sana. Pembentukan itu terjadi melalui proses perjumpaan budaya yang melintasi batas-batas geografis yang sangat mungkin tercipta, karena dunia yang kita huni, sesungguhnya saling terhubung. Jika kita menghargai kebudayaan yang berbeda, apakah itu artinya kita tidak menghormati kebudayaan yang kita miliki? Dalam dunia yang sudah terhubung, seperti saat ini, cara untuk mengetahui bahwa ada banyak kebudayaan di belahan bumi menjadi lebih mudah. Perangkat teknologi memungkinkan kita mengakses informasi di tempat yang berbeda dengan sangat cepat. Pengetahuan kita akan tradisi serta budaya masyarakat di wilayah lain juga menjadi lebih mudah didapat. Kebanggaan atas jati diri yang kita miliki, tidak lantas membuat kita harus menganggap rendah identitas bangsa lain. Masing-masing kebudayaan memiliki kekhasan atau keunikannya masing-masing. Kita tentu berhak untuk merasa bangga atas apa yang dimiliki. Rasa hormat atas identitas sebagai sebuah bangsa yang memiliki peradaban adiluhung, misalnya, adalah sikap yang wajar dimiliki. Namun, bersamaan dengan sikap bangga terhadap kebudayaan yang kita miliki, harus juga ditunjukkan penghormatan atas budaya bangsa lain.

 

Indonesia adalah negara yang memayungi berbagai kebudayaan di dalamnya.



Kebinekaan budaya difasilitasi dan dimajukan. Tak hanya itu, Indonesia memfasilitasi segala macam ragam kebudayaan yang berkolaborasi dari Sabang sampai Merauke. Kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan dari Aceh hingga Papua. Mari kita cermati komposisi para peserta Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Di dalamnya, ada 70 anggota yang berlatar belakang suku dan agama yang tidak sama. Tak hanya menghormati, kebudayaan-kebudayaan yang ada, baik dalam sebuah negara maupun kebudayaan antar negara, sebaiknya membangun sebuah kerja nyata yang menunjukkan bagaimana perbedaan itu bisa mendorong harmonisasi.

Kolaborasi antar budaya bisa menjadi agenda berikutnya. Kolaborasi merupakan sebuah kerja sama yang dilakukan, baik individu ataupun kelompok. Mereka yang terlibat dalam kerja sama itu mendasarkan dirinya pada nilai yang disepakati, komitmen yang dijaga, serta keinginan untuk menunjukkan kepada khalayak bahwa perbedaan latar belakang budaya tidak menghalangi siapapun untuk bisa bekerja bersama-sama. Dengan semangat kolaboratif, jati diri yang berbeda itu bisa bergandengan tangan menciptakan prakarya kebudayaan. Karena bersifat kolaboratif maka identitas-identitas yang turut di dalamnya tidak kehilangan jati dirinya. Persis seperti gambaran tentang jati diri bangsa Indonesia yang berasal dari keragaman identitas yang masih sangat terjaga, meski dalam satu waktu, ada identitas yang secara bersama-sama disepakati sebagai identitas nasional.

Setiap komunitas memiliki keunikan serta kebijaksanaan yang tumbuh dan berkembang di antara mereka. Filosofi serta nilai itu yang menghidupi dan dipegang erat oleh mereka. Pada setiap nilai yang hidup tersebut, selalu ada makna dan nilai yang berguna untuk menjunjung harkat dan martabat manusia. Dunia, saat ini memerlukannya. Mengapa? Saat ini, umat manusia di dunia dihadapkan pada tiga tantangan. Pertama, kehidupan umat manusia sedang berada di bawah ancaman (wacana) "clash of civilizations", yang tiada lain berusaha mempertarungkan satu peradaban dengan peradaban lainnya. Ancaman yang dihadapi bukan pada kekhawatiran akan munculnya perang dunia baru. Lebih dari itu, apa yang menjadi kegelisahan para penyeru mahzab etika universal adalah timbulnya konflik identitas atas dasar, agama, nilai, ideologi, dan budaya antar negara atau dalam satu negara. Kedua, munculnya gerakan fundamentalisme khususnya yang berkaitan dengan ideologi tertentu, yang kerap kali menutup pintu rapat-rapat bagi masuknya segala produk modernitas. Mereka melihat bahwa kekuatan ajaran agama ada dalam ruh yang paling fundamen dan itu menjadi jalan keluar bagi berbagai macam kesengsaraan sosial sekaligus reaksi terhadap peradaban Barat yang sekuler. Ketiga, tantangan umat manusia adalah munculnya banyak varian dogmatisme yang eksis dalam setiap nilai atau ideologi (Kung, 2000:229-230).

Hal inilah yang menjadi akar persoalan munculnya berbagai pertentangan antara dogmatisme dan pragmatisme, fundamentalisme dan pencerahan. Di luar tiga tantangan itu, sesungguhnya ada hal yang indah dan menarik, yakni eksistensi kearifan dalam setiap masyarakat dunia. Kearifan ini yang secara universal mengajak masyarakat untuk kembali kepada kesejatian hidup saling berpegang erat antar sesama dan bahu membahu menyelamatkan bumi. Mengenali kearifan masyarakat yang ada di banyak negara adalah salah satu cara untuk meredam gejolak akibat superioritas kelompok tertentu. Promosi atas kebudayaan yang dimiliki menjadi sangat terbuka dalam dunia yang sudah terhubung. Teknologi dan informasi memungkinkan hal tersebut terjadi.

 

Apa arti penting dari keragaman tradisi yang kita miliki?

Bagaimana   kita   memaknai   keragaman   dalam   kehidupan keseharian? Mula-mula, tentu saja ada kebanggaan karena bagaimana pun juga keragaman tradisi yang dimiliki menunjukkan bahwa kita adalah bangsa yang kaya. Tak hanya itu, tradisi yang kaya tersebut pada perkembangannya bisa hidup saling berdampingan, tidak saling menaikkan satu dengan lainnya. Bayangkan, jika satu kebudayaan merasa dirinya lebih adiluhung daripada kebudayaan lain. Atau, jika ada pemeluk agama yang menganggap ajarannya yang paling sempurna, sehingga pemeluk agama lain tidak berhak hidup di negara ini. Kalau ada klaim keunggulan budaya atau agama, sudah pasti kita tidak lagi menjadi negara yang bineka, yang kaya akan tradisi tersebut. Di Indonesia, semua kebudayaan memiliki posisi yang sama.

"Tidak ada satu budaya yang lebih unggul atau lebih superior dibandingkan dengan budaya lainnya. Semua warga negara dengan segala identitas primordial yang melekat padanya; agama, etnis, bahasa, dan lainnya berada pada payung yang sama. Mereka dijamin untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya, dan diberi kesempatan yang sama pula untuk mengembangkan dan memajukan kebudayaan serta tradisi leluhurnya. Sebagai sebuah bangsa, kita cukup teruji mengelola keragaman kebudayaan tersebut, sehingga terhindar dari disintegrasi".

Kita telah melewati ujian yang sangat menentukan, terutama ketika pada masa Reformasi tahun 1998. Konflik bernuansa etnis dan agama, banyak terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Tetapi, fase tersebut bisa dilewati dengan baik, meski tentu saja tidak sempurna. Kita pun terhindar dari perpecahan. Kebanggaan akan tradisi dan budaya, sebaiknya tidak berhenti sebatas romantisme saja. Tradisi tidak hanya perlu dilestarikan agar terjaga dari kerusakan. Lebih dari itu, tradisi harus terus dihidupkan sekaligus direvitalisasi. Nilainya perlu dipertahankan dalam situasi yang terus berubah. Tantangan yang dihadapi saat ini datang dari berbagai dimensi (sosial, ekonomi,budaya)  serta   berasal  dari   semua   arah   (lokal,  nasional,   dan  internasional).


Untuk Peserta didik Kelas X

Berikut adalah beberapa gambar terjadinya konflik suku, etnis, dan agama yang telah terjadi di Indonesia :


Gambar 1. Konflik Etnis Tionghoa dan Bugis
  Sulawesi Selatan

Gambar 2. Tragedi Sampit
KALIMANTAN


Gambar 3. Konflik Poso antara Islam Vs Kristen
SULAWESI TENGA H


Gambar 4. Perang Suku Lampung dan Bali
LAMPUNG

Gambar 5. Perang suku di Papua
PAPUA


Penugasan :
Dengan melihat Gambar ini, diharapkan peserta didik dapat mengerjakan tugas LKPD yang diberikan oleh Bapak Cucuk Oktriviyanto, S,Pd selaku guru mata pelajaran Pendidikan Pancasila tentang Makna dan Nilai dari Keragaman elemen Bhineka Tunggal Ika.

Berikan Komentar Anda di bawah ini, setelah membaca wacana di atas. Terima kasih sudah mengunjungi blog ini.. semoga sehat dan sukses.. 








Mengenal BItcoin dan Cara Mendapatkannya

Kumpulan Soal Latihan USBN

Silahkan Download Soal-soal Latihan USBN di Bawah ini! Latihan soal USBN Pertama                  https://goo.gl/NFbdKo Latihan s...