Senin, 26 September 2022

MATA PELAJARAN PENDIDIKAN PANCASILA FASE E KELAS X SMK NU MA'ARIF 2 KUDUS PADA ELEMEN BHINEKA TUNGGAL IKA

 MATERI MAKNA DAN NILAI DARI KEBERAGAMAN



TUJUAN PEMBELAJARAN 


Melalui pembahasan ini, peserta didik diharapkan dapat mengenali dan membangun kesadaran bahwa ada keragaman identitas yang kita miliki sebagai sebuah bangsa. Pembelajaran Unit 2 ini juga ditujukan agar peserta didik dapat menunjukkan penghargaannya terhadap keragaman budaya, baik yang ada di Indonesia maupun dunia.




MATERI



“Pancasila adalah jati diri bangsa Indonesia”. Kita tentu sering mendengar atau membaca kalimat tersebut. Di sana, kita menemukan dua kata yang menjadi frasa, yakni jati dan diri. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), jati diri diartikan sebagai keadaan atau ciri khusus seseorang. Padanan kata jati diri adalah identitas. Jadi, identitas dan jati diri akan digunakan secara bergantian untuk merujuk pada pengertian yang sama. Jati diri atau identitas tidak hanya melekat pada individu, tetapi juga kelompok: kelompok kecil seperti keluarga atau kelompok besar seperti halnya bangsa dan negara. Setiap diri kita diberikan keunikan masing-masing. Kekhususan yang ada pada diri kita, membentuk apa yang disebut identitas tadi. Keunikan yang juga ada pada sebuah kelompok, membedakannya dengan kelompok yang lain. Setidaknya, ada dua pendapat besar tentang bagaimana identitas itu terbentuk. Pertama, ada yang beranggapan bahwa identitas itu gifed atau terberi. Identitas, dalam pandangan kelompok ini, merupakan sesuatu yang menempel secara alamiah pada seseorang atau sebuah grup. Seseorang yang dilahirkan memiliki ciri fisik tertentu, seperti berkulit putih, bermata biru, berambut keriting adalah contoh tentang bagaimana kita memahami identitas dalam diri sebagai sesuatu yang alamiah. Kedua, identitas yang dipahami sebagai hasil dari sebuah desain atau rekayasa. Konstruksi identitas seperti ini bisa dilakukan dalam persinggungannya dengan aspek budaya, sosial, ekonomi, dan lainnya. Berbeda halnya dengan identitas yang secara alamiah melekat pada diri manusia, identitas atau jati diri dalam pengertian ini, terlahir sebagai hasil interaksi sosial antar individu atau antar kelompok. Jati diri sebuah bangsa adalah contoh bagaimana identitas itu dirumuskan, bukan diberikan secara natural.

Identitas individu adakalanya bersifat alamiah, tapi juga bisa melekat karena hasil interaksi dengan individu dan kelompok lain. Begitu juga identitas kelompok. Ada identitas yang berasal dari sebuah interaksi dengan kelompok di luar dirinya, serta jati diri yang secara alamiah menjadi ciri dari kelompok tersebut. Untuk lebih jelasnya, mari kita simak uraian mengenai empat tipe jati diri tersebut.

Identitas Bayi yang Baru Saja Lahir, pertama, yang kita kenali tentu saja ciri-ciri fisiknya. Warna kulit, jenis rambut, golongan darah, mata, hidung, dan sebagainya adalah sebagian dari ciri yang melekat pada bayi tersebut. Ciri fisik seperti ini bisa kita sebut sebagai karakter atau identitas yang bersifat genetis. Ia melekat pada diri manusia dan dibawa serta sejak lahir. Ciri fisik manusia, sudah pasti berbeda satu dengan yang lainnya. Sekalipun lahir dari rahim yang sama, akan tumbuh dengan ciri fisik yang berbeda, termasuk mereka yang terlahir kembar. Ada identitas fisik, yang secara alamiah, membedakan dirinya dengan saudara kembarnya itu. Di luar karakter fisik, identitas individu juga bisa berasal dari aspek yang bersifat psikis, misalnya sabar, ramah, periang,  dan seterusnya. Kita mengenali seseorang karena sifatnya yang penyabar atau peramah. Sebetulnya, sifat ini juga bisa menjadi ciri dari kelompok tertentu.

Identitas Individu yang Terbentuk Secara Sosial, selain karakter  yang terbentuk secara alamiah, kita bisa mengenali jati diri seseorang atau individu karena hasil pergumulannya dengan mereka yang ada di luar dirinya. Dari interaksi itu, lahirlah identitas individu yang terbentuk sebagai buah dari hubungan-hubungan keseharian dengan identitas di luar dirinya. Identitas diri itu terbentuk bisa karena pekerjaan, peran dalam masyarakat, jabatan di pemerintahan, dan sebagainya. Dalam hal pekerjaan, misalnya, guru dan peserta didik adalah contohnya. Seseorang menjadi guru karena ia menjalankan tugasnya untuk mengajar dan menyebarkan ilmu pengetahuan kepada murid-muridnya. Ia sendiri tidak terlahir otomatis sebagai guru, tetapi identitasnya itu didapatkan karena ada pekerjaan yang dijalankannya. Peserta didik adalah murid-murid yang diajar, menerima pengetahuan serta belajar bersama dengan guru. Identitas sebagai peserta didik tidak melekat sejak lahir, bukan sesuatu yang alamiah atau genetik. Peserta didik adalah jati diri yang tercipta karena seseorang datang ke sekolah dan mendaftarkan diri untuk menjadi murid di sekolah tertentu.

Identitas Kelompok yang Alami Selain Melekat Pada Individu, ada juga identitas yang secara alamiah menjadi ciri dari kelompok. Jadi, dalam suatu kelompok, ada individu-individu yang menjadi anggotanya dan memiliki ciri yang sama. Istilah ras atau tribe dalam bahasa Inggris, itulah salah satu contoh bagaimana yang alamiah melekat kepada sebuah kelompok. Ras digunakan untuk mengelompokkan manusia atas dasar lokasi geografis, warna kulit serta bawaan fisiologisnya, seperti warna kulit, rambut dan tulang. Ada banyak yang berpendapat tentang penggolongan ras ini. Salah satunya adalah penggolongan ras dalam lima kelompok besar: "ras Kaukasoid", "ras Mongoloid", "ras Ethiopia" (yang kemudian dinamakan "ras Negroid"), "ras Indian" dan "ras Melayu." (Blumenbach dalam Schaefer, 2008).

Identitas Kelompok yang Terbentuk secara Sosial Selain Terbentuk Secara Alamiah, jati diri sebuah kelompok juga bisa terbangun karena bentukan atau dibentuk. Seperti halnya identitas individu yang terbentuk karena interaksi mereka secara sosial, begitu pula halnya identitas kelompok. Mereka yang suka sepak bola, pasti mengenal banyak nama klub atau kesebelasan, baik di dalam maupun luar negeri. Contoh lain adalah organisasi peserta didik di sekolah. Identitas sebagai organisasi peserta didik merupakan jati diri yang terbentuk atau dibentuk. Lebih tepatnya, difasilitasi oleh pihak sekolah. Bangsa dan negara adalah sebuah kelompok sosial.

Setiap bangsa memiliki identitasnya masing-masing. Begitu pun juga negara. Dasar, simbol, bahasa, lagu kebangsaan, serta warna bendera menjadi salah satu penanda sebuah negara. Sebagai kelompok, negara juga terbentuk secara sosial. Negara Indonesia dibentuk atas dasar perjuangan rakyatnya, baik yang dilakukan melalui berbagai medan pertempuran maupun upaya diplomasi di meja perundingan.

 

Mengenali dan Menyadari Keragaman Identitas Sebagai Makhluk Sosial


Ciri yang melekat pada manusia adalah keinginan untuk melakukan interaksi satu dengan lainnya. Interaksi berarti hubungan timbal balik yang dilakukan baik antar individu, antar kelompok maupun individu dengan kelompok. Dalam interaksi, ada proses memengaruhi tindakan kelompok atau individu melalui sikap, aktivitas atau simbol tertentu. Orang akan mengenali yang lain melalui proses interaksi tersebut. Proses untuk mengenali yang lain, dilakukan juga oleh manusia dalam kapasitasnya sebagai makhluk sosial bisa dijumpai melalui cara lain, yakni sosialisasi. Sosialisasi berarti penanaman atau penyebaran (diseminasi) adat, nilai, cara pandang atau pemahaman yang dilakukan oleh satu generasi kepada generasi berikutnya dalam sebuah masyarakat. Melalui sosialisasi, seseorang atau sebuah kelompok menunjukkan nilai-nilai yang dianutnya. Tujuannya, bisa sebatas hanya mengenalkan atau bermaksud memengaruhi yang lain. Dalam sebuah kelompok yang terdiri dari banyak individu, potensi munculnya perbedaan persepsi sangatlah besar. Masing- masing orang memiliki nilai serta pandangan yang menjadi identitasnya. Terhadap pandangan yang tidak sama itu, kemampuan untuk bernegosiasi sangatlah penting. Satu anggota kelompok dengan anggota lainnya, mencari titik temu agar ada satu identitas yang disepakati sebagai jati diri kelompok. Begitu juga yang dilakukan oleh mereka yang ingin membentuk grup atau  kelompok yang  lebih  besar. Kelompok-kelompok kecil  itu berunding untuk menciptakan satu identitas yang bisa mewakili semuanya. Identitas atau jati diri yang menjadi ciri dari kelompok besar itu, bisa saja berasal dari nilai sebuah kelompok kecil yang kemudian disepakati oleh semua kelompok. Atau, ia bisa didapati  dengan cara lain. Identitas itu betul-betul sesuatu yang baru, yang tidak ada pada anggota kelompoknya. Terciptanya identitas kelompok, dengan demikian, mendapatkan pengaruh dari mereka yang menjadi anggotanya. Identitas sebuah grup merupakan hasil dari rumusan dan kesepakatan yang diharapkan bisa menjadi media bagi kelompok lain ketika hendak mengenalinya. Di sini kita bisa menarik dua hal penting, yakni jati diri dan keragaman atau kebinekaan. Mengapa kebinekaan menjadi tema penting dalam kaitannya dengan masalah identitas atau jati diri? Kita perhatikan bagaimana sebuah kelompok terbangun. Jika, katakanlah, ada 10 individu dalam satu kelompok, itu berarti ada 10 cara pandang atau pendapat tentang apa dan bagaimana menciptakan jati diri kelompok tersebut. Begitu pula ketika 100 kelompok hendak menciptakan jati diri untuk satu kelompok besar. Kita akan mendapati 100 jati diri yang sedang berbincang tentang bagaimana menciptakan identitas bersama mereka. Sepuluh, seratus, seribu, dan seterusnya adalah representasi dari kebinekaan atau kemajemukan.

Di dunia ini, ada beragam identitas, baik identitas individu maupun kelompok. Identitas yang tercipta secara alamiah atau dibentuk secara sosial. Keragaman merupakan hukum alam yang harus disadari dan diterima oleh siapapun. Bangsa Indonesia sedari awal telah menyadari akan hal ini. Kita hidup dalam keragaman, namun ingin tetap berada dalam payung yang bisa mengayomi kebinekaan itu. Inilah hakikat dari semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” tersebut. Sebagaimana para pendiri bangsa yang menyadari bahwa Indonesia adalah negara dengan keragaman budaya, agama, etnis, suku dan bahasa, begitupun juga yang harus dilakukan oleh generasi penerus. Kesadaran tentang kebinekaan, harus dilanjutkan oleh kehendak untuk mengenali yang lain.

Berkenalan dengan identitas lain di luar dirinya merupakan cara terbaik ketika kita hidup dengan mereka yang berbeda. Coba diingat, ketika awal berpindah sekolah dari SMP ke SMA. Sebagian besar teman-teman adalah orang-orang baru. Guru-guru yang mengajar pun demikian. Lingkungan sekolah juga berbeda dengan situasi sebelumnya. Jika kita tak bersosialisasi dengan cara mengenal satu dengan yang lain, kita seperti hidup seorang diri, meski faktanya ada banyak orang di sekeliling. Karenanya, kita harus berjumpa, berkenalan, dan berinteraksi agar kebinekaan atau keragaman itu tak hanya sekadar ada dan diakui tapi juga saling dikenali. Menghargai keragaman adalah salah satu bentuk ketaatan kita pada hukum alam. Tuhan telah menciptakan manusia dengan segala keragaman identitas yang melekat padanya. Menyadari dan menghormati keragaman, tak hanya sebagai cara mengenali sesama, tetapi juga memuliakan ciptaan-Nya.

Berapa jumlah suku bangsa, bahasa dan suku di Indonesia? Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, hingga tahun 2010, ada 1300-an lebih suku bangsa di Indonesia. Sementara, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Badan Bahasa Kemendikbud) telah memetakan dan memverifikasi 718 bahasa daerah di Indonesia. Agama-agama yang dianut oleh penduduk Indonesia, jumlahnya juga banyak. Selain Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha, dan Konghucu, kita juga mengenal agama-agama lokal seperti Parmalim, Sunda Wiwitan, Kaharingan, Marapu, dan lain sebagainya. Mereka mempraktikkan adat serta tradisi yang berbeda satu dengan lainnya. Bahasa yang dituturkan juga tidak sama. Keyakinan serta ajaran-ajaran yang dianut pemeluknya hadir dalam doktrin serta ritual yang berlainan.

Perbedaan-perbedaan ini adalah bagian dari kekayaan bangsa Indonesia yang harus dihormati dan perlu dijaga. Salah satu ciri bangsa Indonesia adalah keragaman yang dimilikinya. Tidak hanya sebagai ciri, kebudayaan yang beragam itu adalah sekaligus jati diri bangsa Indonesia. Indonesia adalah negara yang memiliki dua identitas sekaligus. Identitas pertama bersifat primordial atau jati diri yang berkaitan dengan etnis, suku, agama, dan bahasa. Identitas kedua bersifat nasional. Jika dalam identitas primordial kita melihat banyak sekali jati diri, tidak demikian halnya dengan identitas nasional. Dalam jati diri kita yang bersifat nasional, kita bersama-sama memiliki satu warna, satu identitas. Dengan begitu, keunikan Indonesia terletak pada keragaman sekaligus kesatuannya. Keragaman pada identitas kita yang bersifat primordial, sementara kesatuan dan persatuan terletak pada jati diri kita yang bersifat nasional.

Tugas besar yang membentang di hadapan kita sebagai sebuah bangsa yang besar adalah mengelola keragaman sebagai sebuah kekuatan yang saling mendukung satu dengan lainnya. Tidak ada cara lain bagi segenap elemen bangsa kecuali terus mengingat dan menyadari eksistensi kita sebagai bangsa yang dicirikan oleh kebinekaan pada identitas kita yang bersifat primordial. Tak hanya menyadari, tetapi proses selanjutnya harus terus diupayakan, yakni mengenali keragaman-keragaman tersebut. Dalam setiap upaya pengenalan, ada tujuan mulia yang tersimpan di dalamnya, yakni menghargai setiap budaya, kepercayaan, suku, serta bahasa sebagai identitas khas dan unik yang melekat pada diri manusia. Menghargai keragaman identitas kita mengenal nenek moyang nusantara sebagai pelaut yang ulung. Tinggal di negara kepulauan, para pelaut nusantara melakukan ekspedisi yang sangat luar biasa panjang. Mereka tak hanya berlayar antar pulau di wilayah nusantara saja, tetapi melakukan perjalanan yang sangat jauh hingga wilayah Afrika. Perjalanan laut sudah dilakukan sekitar abad ke-5 dan ke-7 M. Perjalanan yang dilakukan memungkinkan mereka berinteraksi dengan kebudayaan yang berbeda di tempat di mana para pelaut itu singgah. Di situlah terjadi kontak. Nenek moyang kita berkenalan dengan lingkungan barunya. Tak hanya berkenalan, beberapa di antaranya menetap dan meneruskan generasinya di sana. Pada apa yang dilakukan oleh nenek moyang pelaut kita itu, tercipta sebuah bangunan identitas khas pada masyarakat Afrika. Di sana dikenal tentang asal-usul ”Zanj” yang namanya merupakan asal-usul nama bangsa Azania, Zanzibar, dan Tanzania. Zanj adalah ras AfroIndonesia yang menetap di Afrika Timur, jauh sebelum kedatangan pengaruh Arab atas Swahili.

Dari peristiwa yang terjadi di masa silam seperti di atas, kita bisa belajar, setidaknya dua hal. Pertama, pada setiap perjalanan, seseorang akan bersua dengan perbedaan-perbedaan. Ketidaksamaan itu mewujud dalam tampilan fisik atau bahasa yang dituturkan. Pada bahasa yang sama sekalipun, ada dialek yang berlainan. Sehingga tetap ada keragaman dalam sebuah identitas yang pada awalnya kita yakini ada. Dalam hal keyakinan atau ajaran agama, sudah pasti ada ketidaksamaan. Kita bisa mengibaratkan ini dengan seorang yang sedang bertamu ke rumah kerabat, tetangga atau orang yang baru ditemui dalam kehidupannya. Perjumpaan antara kebudayaan yang berbeda, dalam kasus di atas, kemudian dibungkus dalam sebuah etika tentang bagaimana sebaiknya hidup bersama dalam identitas yang beragam tersebut.

Pelajaran kedua dari kisah tentang perjalanan laut nenek moyang nusantara adalah pembentukan identitas baru yang tercipta dari persilangan berbagai identitas. Pada setiap identitas yang melekat, ada keragaman di sana. Pembentukan itu terjadi melalui proses perjumpaan budaya yang melintasi batas-batas geografis yang sangat mungkin tercipta, karena dunia yang kita huni, sesungguhnya saling terhubung. Jika kita menghargai kebudayaan yang berbeda, apakah itu artinya kita tidak menghormati kebudayaan yang kita miliki? Dalam dunia yang sudah terhubung, seperti saat ini, cara untuk mengetahui bahwa ada banyak kebudayaan di belahan bumi menjadi lebih mudah. Perangkat teknologi memungkinkan kita mengakses informasi di tempat yang berbeda dengan sangat cepat. Pengetahuan kita akan tradisi serta budaya masyarakat di wilayah lain juga menjadi lebih mudah didapat. Kebanggaan atas jati diri yang kita miliki, tidak lantas membuat kita harus menganggap rendah identitas bangsa lain. Masing-masing kebudayaan memiliki kekhasan atau keunikannya masing-masing. Kita tentu berhak untuk merasa bangga atas apa yang dimiliki. Rasa hormat atas identitas sebagai sebuah bangsa yang memiliki peradaban adiluhung, misalnya, adalah sikap yang wajar dimiliki. Namun, bersamaan dengan sikap bangga terhadap kebudayaan yang kita miliki, harus juga ditunjukkan penghormatan atas budaya bangsa lain.

 

Indonesia adalah negara yang memayungi berbagai kebudayaan di dalamnya.



Kebinekaan budaya difasilitasi dan dimajukan. Tak hanya itu, Indonesia memfasilitasi segala macam ragam kebudayaan yang berkolaborasi dari Sabang sampai Merauke. Kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan dari Aceh hingga Papua. Mari kita cermati komposisi para peserta Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Di dalamnya, ada 70 anggota yang berlatar belakang suku dan agama yang tidak sama. Tak hanya menghormati, kebudayaan-kebudayaan yang ada, baik dalam sebuah negara maupun kebudayaan antar negara, sebaiknya membangun sebuah kerja nyata yang menunjukkan bagaimana perbedaan itu bisa mendorong harmonisasi.

Kolaborasi antar budaya bisa menjadi agenda berikutnya. Kolaborasi merupakan sebuah kerja sama yang dilakukan, baik individu ataupun kelompok. Mereka yang terlibat dalam kerja sama itu mendasarkan dirinya pada nilai yang disepakati, komitmen yang dijaga, serta keinginan untuk menunjukkan kepada khalayak bahwa perbedaan latar belakang budaya tidak menghalangi siapapun untuk bisa bekerja bersama-sama. Dengan semangat kolaboratif, jati diri yang berbeda itu bisa bergandengan tangan menciptakan prakarya kebudayaan. Karena bersifat kolaboratif maka identitas-identitas yang turut di dalamnya tidak kehilangan jati dirinya. Persis seperti gambaran tentang jati diri bangsa Indonesia yang berasal dari keragaman identitas yang masih sangat terjaga, meski dalam satu waktu, ada identitas yang secara bersama-sama disepakati sebagai identitas nasional.

Setiap komunitas memiliki keunikan serta kebijaksanaan yang tumbuh dan berkembang di antara mereka. Filosofi serta nilai itu yang menghidupi dan dipegang erat oleh mereka. Pada setiap nilai yang hidup tersebut, selalu ada makna dan nilai yang berguna untuk menjunjung harkat dan martabat manusia. Dunia, saat ini memerlukannya. Mengapa? Saat ini, umat manusia di dunia dihadapkan pada tiga tantangan. Pertama, kehidupan umat manusia sedang berada di bawah ancaman (wacana) "clash of civilizations", yang tiada lain berusaha mempertarungkan satu peradaban dengan peradaban lainnya. Ancaman yang dihadapi bukan pada kekhawatiran akan munculnya perang dunia baru. Lebih dari itu, apa yang menjadi kegelisahan para penyeru mahzab etika universal adalah timbulnya konflik identitas atas dasar, agama, nilai, ideologi, dan budaya antar negara atau dalam satu negara. Kedua, munculnya gerakan fundamentalisme khususnya yang berkaitan dengan ideologi tertentu, yang kerap kali menutup pintu rapat-rapat bagi masuknya segala produk modernitas. Mereka melihat bahwa kekuatan ajaran agama ada dalam ruh yang paling fundamen dan itu menjadi jalan keluar bagi berbagai macam kesengsaraan sosial sekaligus reaksi terhadap peradaban Barat yang sekuler. Ketiga, tantangan umat manusia adalah munculnya banyak varian dogmatisme yang eksis dalam setiap nilai atau ideologi (Kung, 2000:229-230).

Hal inilah yang menjadi akar persoalan munculnya berbagai pertentangan antara dogmatisme dan pragmatisme, fundamentalisme dan pencerahan. Di luar tiga tantangan itu, sesungguhnya ada hal yang indah dan menarik, yakni eksistensi kearifan dalam setiap masyarakat dunia. Kearifan ini yang secara universal mengajak masyarakat untuk kembali kepada kesejatian hidup saling berpegang erat antar sesama dan bahu membahu menyelamatkan bumi. Mengenali kearifan masyarakat yang ada di banyak negara adalah salah satu cara untuk meredam gejolak akibat superioritas kelompok tertentu. Promosi atas kebudayaan yang dimiliki menjadi sangat terbuka dalam dunia yang sudah terhubung. Teknologi dan informasi memungkinkan hal tersebut terjadi.

 

Apa arti penting dari keragaman tradisi yang kita miliki?

Bagaimana   kita   memaknai   keragaman   dalam   kehidupan keseharian? Mula-mula, tentu saja ada kebanggaan karena bagaimana pun juga keragaman tradisi yang dimiliki menunjukkan bahwa kita adalah bangsa yang kaya. Tak hanya itu, tradisi yang kaya tersebut pada perkembangannya bisa hidup saling berdampingan, tidak saling menaikkan satu dengan lainnya. Bayangkan, jika satu kebudayaan merasa dirinya lebih adiluhung daripada kebudayaan lain. Atau, jika ada pemeluk agama yang menganggap ajarannya yang paling sempurna, sehingga pemeluk agama lain tidak berhak hidup di negara ini. Kalau ada klaim keunggulan budaya atau agama, sudah pasti kita tidak lagi menjadi negara yang bineka, yang kaya akan tradisi tersebut. Di Indonesia, semua kebudayaan memiliki posisi yang sama.

"Tidak ada satu budaya yang lebih unggul atau lebih superior dibandingkan dengan budaya lainnya. Semua warga negara dengan segala identitas primordial yang melekat padanya; agama, etnis, bahasa, dan lainnya berada pada payung yang sama. Mereka dijamin untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya, dan diberi kesempatan yang sama pula untuk mengembangkan dan memajukan kebudayaan serta tradisi leluhurnya. Sebagai sebuah bangsa, kita cukup teruji mengelola keragaman kebudayaan tersebut, sehingga terhindar dari disintegrasi".

Kita telah melewati ujian yang sangat menentukan, terutama ketika pada masa Reformasi tahun 1998. Konflik bernuansa etnis dan agama, banyak terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Tetapi, fase tersebut bisa dilewati dengan baik, meski tentu saja tidak sempurna. Kita pun terhindar dari perpecahan. Kebanggaan akan tradisi dan budaya, sebaiknya tidak berhenti sebatas romantisme saja. Tradisi tidak hanya perlu dilestarikan agar terjaga dari kerusakan. Lebih dari itu, tradisi harus terus dihidupkan sekaligus direvitalisasi. Nilainya perlu dipertahankan dalam situasi yang terus berubah. Tantangan yang dihadapi saat ini datang dari berbagai dimensi (sosial, ekonomi,budaya)  serta   berasal  dari   semua   arah   (lokal,  nasional,   dan  internasional).


Untuk Peserta didik Kelas X

Berikut adalah beberapa gambar terjadinya konflik suku, etnis, dan agama yang telah terjadi di Indonesia :


Gambar 1. Konflik Etnis Tionghoa dan Bugis
  Sulawesi Selatan

Gambar 2. Tragedi Sampit
KALIMANTAN


Gambar 3. Konflik Poso antara Islam Vs Kristen
SULAWESI TENGA H


Gambar 4. Perang Suku Lampung dan Bali
LAMPUNG

Gambar 5. Perang suku di Papua
PAPUA


Penugasan :
Dengan melihat Gambar ini, diharapkan peserta didik dapat mengerjakan tugas LKPD yang diberikan oleh Bapak Cucuk Oktriviyanto, S,Pd selaku guru mata pelajaran Pendidikan Pancasila tentang Makna dan Nilai dari Keragaman elemen Bhineka Tunggal Ika.

Berikan Komentar Anda di bawah ini, setelah membaca wacana di atas. Terima kasih sudah mengunjungi blog ini.. semoga sehat dan sukses.. 








Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenal BItcoin dan Cara Mendapatkannya

Kumpulan Soal Latihan USBN

Silahkan Download Soal-soal Latihan USBN di Bawah ini! Latihan soal USBN Pertama                  https://goo.gl/NFbdKo Latihan s...